Selasa, 25 Maret 2014

Fragmen-fragmen Bromo

 Senin, 20 okt 2013

Semangat pagi spontan membawa diri bergegas menuju stasiun Tugu Jogja, membeli tiket kereta ke Surabaya - sabtu pagi pk 07:00, kereta berangkat pk 07:25.

Perjalanan 4,5 jam dg Sancaka Pagi bersama Nat dan sehelai Pashmina merah jambu pemberiannya-peringatan hari lahirku. Pertama kali naik kereta pagi eksekutif bersama seorang sahabat dan pemandangan yang 'terang'.


Pk 12:00, kereta sampai di Stasiun Gubeng Sby. Membeli coffee bun utk sarapan, sambil nyegat angkot menuju Terminal Purabaya, Bungursari. (Sempat makan siang di KFC yg 'aneh' dan  bergelantungan di bus Damri, setelah ngangkot)

Bus Patas Akas menuju Probolinggo menanti, perjalanan 2 jam terkantuk-kantuk.

Pk 16:00 - terminal Probolinggo. Dirubung tukang ojek yg menawarkan diri mengantar ke desa Cemara Lawang. Seolah berpengalaman, kami menuju ke pangkalan "Bison" utk menunggu pemberangkatan berikutnya ke Cemara Lawang. Harus menunggu terkumpul 15 orang untuk berangkat.
Sembari menunggu, bercakap sambil memandangi langit senja, menikmati es warna-warni, sedikit tertuang emosi lewat satu sesi percakapan tak terduga.

Berangkat ke Cemara Lawang sekitar pukul 19:00, bersebelas didalam bison, termasuk 4 bule Perancis yg mengoceh dalam bahasa mereka tak henti-henti. Tapi, bagiku bahasa mereka seksi.

Perjalanan menuju Cemoro Lawang so amazing!
Bulan penuh, langit bersih berbintang. Bukit-bukit rapi dan cantik bercemara mengundang mata utk mengagumi.

Hampir jam sembilan ketika sampai di Cemoro Lawang. Kali ini dirubung penjual penutup kepala, sarung tangan dan syal, sementara sibuk mencari penginapan.

Tawar menawar harga penginapan dan bersepakat dengan transportasi motor menuju Bromo dan sekitarnya.
Menghabiskan sisa malam di warung kecil dengan semangkuk indomie telor panas-panas.
Suhu: 5 derajat celsius  

 

Mandi malam, tidur, dan siap dibangunkan jam 3 pagi. Fresh care cukup lumayan mengatasi dingin perut.

Persenjataan lengkap: masker, scarf hijau, pashmina gress, sepatu, kaos kaki panjang, celana rangkap, kaos rangkap, jaket, sarung tangan, kacamata UV plus dust protection, ransel dan bekal air minum.

Pagi yg keren!
Puluhan jeep hartop dan motor menuju bukit Penanjakan, berdesakan di medan terjal berliku, pagi buta.

Sunrise Pananjakan.. Garis cahaya di kaki langit. Angin dingin menderu menggoyang pepohonan, tubuh dan nafas membeku, hidung meler.



Tangan membeku didalam sarung tangan. Jagung bakar panas tak membuatnya hangat, akhirnya semangkuk indomie rebus dan kopi panas cukup menghangatkan tubuh. 
 


Menuju Kawah Bromo, perjalanan indah sekali menuruni Penanjakan.
Saatnya berkelana bermotor di Padang Pasir.
Luar biasa keren!!
Menembus debu tebal, gumuk-gumuk pasir, dan motor ini tetap tangguh!
Tertawa sepanjang jalan.

Kaki Gunung Bromo.
Berjalan bak musafir, melintasi bukit pasir yang meliuk-liuk. Kadang menanjak, kadang menurun, dan kadang berbadai pasir.
Pijakan demi pijakan tangga menuju puncak kupercepat demi segera sampai puncak, biarpun nafas hampir putus, satu dua kali berhenti, dan sahabatku tertinggal jauh dibawah.
Aku hanya ingin menaklukkan rasa menyerah.



Kawah bagiku kurang mengesankan, kecuali asap belerang yg mengepul.

Kami menuruni tangga berpasir itu, kulintasi orang2 yg terlalu lambat menuruninya. Dan sekali lagi kutinggalkan sahabatku, kali ini tertinggal diatas.
Aku tak suka melalui jalan pasir yg dilalui orang2 dan kuda. Maka kucari jalanku sendiri melalui gundukan-gundukan pasir yang dinamis, aku berlari sesekali.


Mengarungi pasir lagi dengan motor menuju bukit teletubbies dan savanna, padang rumput-bagian alam yg paling kusukai selain langit.

Padang rumput ini menakjubkanku..
Aku berbaring ditengah rerumputan menatap matahari, sampai wajahku terbakar.
Aku puas. Tapi belum cukup puas sebelum mendaki bukit teletubbies itu. Bukan sekarang waktunya.




Aku dan Nat terpisah jauh, kami menuju jalan kami sendiri2, mengarungi rumput2 pilihan kami masing2.

Padang pasir menuju Pasir Berbisik paling sulit dilalui. Beberapa kali motor tidak stabil, karena pasir terlalu 'empuk'. Badai pasir datang sesekali, dan tebal, menutup pandangan.

Padang pasir Berbisik ini menarik, sunyi, tegar.
Sesekali liuk debu menampakkan diri di kejauhan.
Hanya aku dan Nat dan dua pengendara tangguh kami. Beberapa pengunjung nampak jauh di ujung padang.


Tempat ini, kata Nat, seperti danau kering yang ditinggalkan. Beberapa bentuk batu menyerupai karang menghiasi sebagian tempat yang berbukit pasir.


Waktunya pulang. Menanjak lagi menuju desa.

Berbenah, membersihkan diri dari pasir. Mencari Bison lagi utk membawa kami ke terminal Probolinggo. Seluruh penumpang terkantuk-kantuk di perjalanan. Tapi pemandangan perjalanan bagiku sungguh sayang utk dilewatkan.

Aku tertidur pulas dalam bus sepanjang jalan menuju Surabaya. Saat turun bus di terminal Purabaya, entah dimana kacamataku terjatuh. Mungkin jadi tumbal terminal.

Makan soto lamongan yang terasa hambar, khas terminal. Kemudian bergegas menuju bus patas Eka menuju jogja, keberangkatan jam 4 sore.
Bersiap utk perjalanan panjang, 8 jam, menuju terminal Giwangan Jogja.

Berhenti makan malam di rumah makan langganan bus Eka, RM Duta, sekitar jam 9 malam.
Energiku meluap, sedikit ngantuk, sedikit limbung, sedikit tak pedulian, dan banyak ngakak.
Entah kenapa.
Mungkin puas.
Mungkin menemukan jawaban.
Mungkin karena ....

Dan Jogja, aku merindukanmu dua hari ini.
Aku pulang ke Jogjaku lagi.
(Semalam di hotel Winotosastro Timuran, menikmati kesendirian di kotaku tercinta)

Terima kasih, Bromo..





Kamis, 20 Maret 2014

cerpen (semacam itu pokoknya..): Buku Ini Sekali Lagi Kosong

Buku Ini, Sekali Lagi, Kosong..


Buku itu masih ada di tangannya. Buku kecil selebar genggaman tangan, bersampul hijau kebiruan, sederhana, bergambar sketsa menara Eiffel Paris. Ah, melihatnya saja ia tiba-tiba jadi merasa romantis. Citra romantis itu tampaknya melekat padanya sejak ia dilahirkan, mungkin karena ia menyandang satu nama pemberian ibunya yang penuh mimpi.. Lintangsani, namanya Lintangsani.
Lintangsani - keluhuran pendar bintang, paling tidak sejauh itu sang ibu memaknainya.

Nduk, engkau adalah bintang yang berpendar entah saat kelahiran atau kejatuhannya.. Maka hidupmu akan menjadi lapisan-lapisan cahaya seiring gerak jiwamu yang sederhana.

Kalimat ibu terasa berat.
Ia tak bisa sepenuh memaknainya. Tapi setidaknya, lapisan-lapisan cahaya itu ia terjemahkan sebagai langkah-langkah kecil hidup yang kadang riang, kadang sendu, kadang meluap dalam amarah, kadang membentangkan kehampaan dalam benak. Dan disinilah, di buku inilah Lintangsani akan mulai menuliskan kisah langkah itu di setiap lembar kertas yang haus akan tinta dan cerita. Berniat.

Namun, lembaran itu masih saja sepi kata-kata. Lintangsani membiarkan kata-kata bermain-main dan berkelindan dalam kepalanya, kata beradu kata, kalimat memperebutkan estetika susunannya, dan makna..ah..dalam benaknya ia mulai kehilangan makna. Makna mulai tak selaras dengan kata hati, dan kata hati enggan beriringan dengan kata pikiran, rasionalitas. Kemudian gerak tangan tak menjadi kuasa untuk menampung refleksi makna meluncur pada goresan.
Ia sulit menulis. Sesederhana itu sebetulnya.
Walaupun saat ini di hadapan Lintangsani, laut tenang tanpa ombak mengalunkan musik tanpa suara. Capung liar melesat ringan menyusuri gerak angin, kadang singgah di pucuk semak. Mentari pagi menyentuh langit pucat yang masih berhiaskan purnama semalam. Warna pagi mulai memetakan bayangan manusia yang beberapa bercengkrama sayup di dermaga sederhana ini. Betapapun Lintangsani mencintai gunung menjulang, wajah laut terhampar tenang dan sederhana semacam ini membuatnya ingin mencintai laut juga. Tapi bukan tanpa alasan. Ia hidup dengan beberapa alasan. Alasan mencintai wajah laut ini karena cinta. Cinta padanya - seorang lelaki yang mencintai laut dan cakrawala. Keinginan bawahsadarnya untuk mensejajarkan diri dengan lelaki itu membuat ia mengabaikan kejujuran pada dirinya sendiri. Bahkan mengabaikan kejujuran pada gerak hatinya untuk mengungkap makna tertoreh tinta dalam wujud tulisan.
Buku itu kini hanya diam.

Buku yang telah bertahun dimiliki Lintangsani memiliki saingan.
Buku lain yang ‘tak ber-tubuh’ menemani Lintangsani melembarkan lapisan cahaya hidupnya dalam huruf-huruf yang keluar melalui sentuhan “tuts” keyboard. E-mail, chatting, sms berlarik-larik panjangnya telah menemani Lintangsani jauh lebih sering mengungkap makna daripada si buku Eiffel. Tapi Lintangsani mulai letih, letih menatap layar yang berkedip namun membisu, letih setiap huruf selalu serupa lekuknya, muak bahwa huruf tak memiliki kuasa ekspresinya lagi.
Berjuta-juta huruf telah ia ketikkan untuk menuansakan lapisan cahaya dalam kata, kalimat, frase dan paragraf. Juga ratusan judul; suka dan cita, duka, peristiwa, pelampiasan, dendam, doa entah kepada siapa, syukur dan permohonan ampun, bahkan hasrat yang menjadi rahasianya. Juga memori percintaannya dengan lelaki pecinta laut itu. Bercakap tanpa suara.
Ia mulai jenuh, ketika tulisan-tulisan digital itu mulai memiliki otoritas, meminta makna terus menerus. Dan ia harus memberikannya tanpa tahu arti makna itu. Ia mulai merasa mengkhianati diri melalui huruf-huruf yang arogan dalam media digital ini.
Lintangsani mengelus garis kerut yang terbentuk halus di keningnya, menggosoknya, seakan melicinkannya bisa membuat alur pikirnya melicin juga.
Sudahlah, pikirnya.
Kini ia menyadari betapa makna nama pemberian sang ibu mulai memberatkan, mengkonsep hidupnya terus menerus. Dan pada nama itu ia menyalahkan, bagian pembelaan dirinya.

Lintangsani menatap layar mini pada telepon genggamnya yang cerdas dan cerdik. Beringsut ke ujung dermaga, ia menyelami suasana dan keterikatan pribadinya pada benda ini. Disusurinya rangkaian-rangkaian kata dalam email, email dengan si lelaki pecinta laut, yang kepadanya lapisan cahaya itu ia bagikan. Judul demi judul terbaca habis.
Menekuri tulisan-tulisan itu lebih dalam, Lintangsani merasakan bahwa tulisan itu kemudian menjadi onggokan kata-kata saja, walaupun tetap berkisah. Karena itu hanya milik dirinya dan si lelaki. Hanya sekedar kisah, miliknya..dan miliknya. Teks-teks itu miliknya. Tidak pernah dimiliki orang lain, tak pernah menginspirasi selain dirinya dan si lelaki. Istimewa, namun terbatas. Lapisan cahaya yang dikiranya telah dimiliki dalam setiap tulisan, mulai berubah wujud hanya serupa dekorasi hidupnya.
Sebaris tulisan terbaca;
Sesuatu yang harus dikerjakan, kerjakanlah!

Lintangsani tersenyum.
Bukankah ini adalah satu kalimat di sebuah buku dongeng tipis di masa kecilnya? Di umur ke-sembilan atau ke-sepuluhnya. Ia mengingat judulnya yang terjemahan - “Fung Hsuen yang Cerdik”, sebuah dongeng dari negeri Cina, negeri yang sarat falsafah ketimuran. Fung Hsuen, pemuda yang dianggap bodoh oleh lingkungannya memiliki satu kalimat yang sering diucapkan: Sesuatu yang harus dikerjakan, kerjakanlah!
Ia lugu dan jujur. Tapi, ia berhasil meresapi hidup dengan satu kalimat sederhana itu, yang menurut Lintangsani adalah kejujuran yang berprinsip, memuat komitmen tinggi, dan optimistik. Sejak itulah, Lintangsani mengikuti falsafah Fung Hsuen, tokoh cerita fiksi yang berpengaruh dalam gerak Lintangsani menciptakan lapisan-lapisan cahaya hidupnya.
Ya, kenapa tidak? Bukankah inspirasi sekecil apapun akan membentuk alam pikiran kita? Entah buku tipis, entah buku tebal, entah tulisan panjang, entah tulisan sebaris, entah dalam buku, entah dalam teks digital, entah sederhana maupun ‘berat’, entah ‘kosong’, entah ‘berisi’. Semua mengekspresikan maknanya sendiri, tulisan-tulisan itu. Bahkan tulisannya dengan si lelaki pecinta laut. Bukankah makna-makna itu berkumpul memenuhi ruang pikirnya? Menentukan apa yang harus dilakukan, yang mungkin saja telah membentuk kejujuran itu sendiri tanpa ia sadari.
Pandangan Lintangsani mulai mengabur, entah karena silau sinar mentari pagi membutakan matanya atau karena bayangan tentang “makna” itu berdesakan berkumpul di batas pandangnya.
Sudahlah, tak serumit itu, pikirnya. Ia selalu berkontradiksi dengan seluruh pemahamannya akan sesuatu.

Bayangan berikutnya yang muncul setelah bayangan makna itu pergi berupa bayangan buku kosong yang selalu siap terisi imaji. Kosong untuk selalu diisi. Konsep lembaran kosong yang mendamba torehan-torehan makna. Yang mengawali setiap cerita, yang menengahi konflik, yang mengakhiri dengan inspirasi baru. Adakah buku seperti itu?

Lintangsani menatap buku Eiffel itu, lebih lama daripada biasanya. Kali ini ia terserang romantisme aneh. Rasa cinta yang mendadak muncul. Spontanitas yang paling jujur. Sementara ia tak pernah mengerti definisi cinta. Tapi ia cinta, sesederhana itu saja. Tak harus mengerti alasan ia jatuh kedalamnya. Tak juga kepada lelaki pencinta laut itu.. dan sayangnya Lintangsani juga tak mengerti kenapa ia harus melibatkan tulisannya dengan si lelaki itu ke wilayah makna-memaknai ini. Karena mungkin setiap makna tak bisa dimaknai secara terpisah, makna satu dengan makna lain, pemahaman satu orang dengan pemahaman orang lain, dan hubungan diantaranya. Keterikatan tanpa hubungan fisik, mungkin seperti itu. Mungkin, karena ia hanya bercakap dalam tulisan dan makna dengan lelaki itu, dan memahami bahwa setiap makna bisa menjadi sangat istimewa, entah tertulis atau belum tertuliskan. Tak perlu bicara. Dan tak usah bicarakan lagi. Kita masing-masing sudah tahu. Hanya kau dan aku.


Dan kemudian Lintangsani berusaha memahami kenapa ia sulit menorehkan makna kedalam buku Eiffel ini. Ya, karena ia jatuh cinta. Dan itu cukup memberi ia pengertian bahwa cinta tak terberi dan tak diberikan. Cukup hadir dan ada. Buku ini tak perlu diisi kata-kata, karena ia telah mampu berkata-kata dalam maknanya sendiri. Buku ini memaknai cinta pada diri Lintangsani. Dan itu lebih bermakna dalam daripada yang akan tertuliskan.

Buku bersampul biru-kehijauan serupa laut ini, yang bergambar sketsa menara Eiffel Paris, yang selebar genggaman tangan… sekali lagi, kosong.


Disamping petak jendela..menunggui sahabat yang tertidur pulas dan (katanya) bermimpi tentang asmara..
Semarang, 3 November 2013
-Arwin Pattrasani-

* termuat dalam kompilasi "Bunda Kata" 
*adakah copyright-nya? semoga tidak salah memuatnya disini :)




cerpen: Kerikil dan Kerikil


Sekali lagi.. fragmen cerpen yang masih bisa berlanjut :)

Kerikil dan Kerikil  
(Pattrasani - Jogja, 16 Okt dan 6 Nov 2013)

Saat itu senja belum lagi memuram.
Langit bersih dari awan, jalanan sedang memulai aktivitas malamnya. Ya, kota ini hidup di waktu malam. Malam-malam kota ini adalah cengkerama bagi sebagian besar masyarakatnya, yang tua yang muda, bahkan menulari para pendatang yang sekedar singgah menjadi lekat untuk mereguk nikmat candu nafas kota, bertahun-tahun tak berkesudahan.
Kota ini seperti punya jampi dan mantra untuk membuat manusia melekat pada kesederhanaan hidup, penyadaran diri dan penyembuhan luka batin.
Mama termenung di pinggir jalan, diatas sepeda motornya yang berderum datar. Liuk jalan menggapai kesedihannya, mengundang melambai mengajaknya mengarungi lagi petualangan jalan aspal. Tapi tidak, Mama hanya sanggup menatap lapangan berumput tandus didepannya, yang penuh kerikil kecil. Senja dan angin petang tampaknya tak lagi membuatnya bergairah. Remang lampu jalanan kuning dan punggung jembatan layang yang selalu membuatnya merindu angin tak mampu merengkuh hasratnya untuk bercinta dengan kehidupan.
Ia hanya menatap kerikil-kerikil itu.
Tangannya terulur.
Satu, diambilnya satu kerikil abu-abu gelap berdebu. Jemarinya mengusap sedikit debu yang menempel di batu. Dari matanya, tersirat jelas isi kepalanya bekerja berputar, namun tanpa koordinasi yang baik. Matanya kemudian hanya sekedar memandang si kerikil mungil.
Dua, kerikil kedua dari lapangan telah diambilnya, abu-abu pucat. Tangan mama menyusuri pinggang jaketnya, ada kantong disitu. Kedua kerikil meluncur masuk kedalamnya.
Tiga, empat, lima, enam, tujuh, …pada kerikil ketujuh ia berhenti. Sungguh menyakitkan mengingat angka tujuh yang sangat ia cintai.
Delapan, Sembilan,..seterusnya ia masukkan kerikil-kerikil itu ke kantongnya..satu persatu. Memasukkannya satu persatu membuat Mama menangguhkan waktu, membuatnya punya alas an berdiri berlama-lama di lapangan yang mulai gelap oleh ungu petang.
Sekarang waktunya mencari sungai, yang dalam dan tenang, yang berair dingin dan jika bisa..berwarna hitam.
Suatu waktu, ia pernah menonton film “The Hours”, kisah tentang tiga waktu, tiga perempuan: sang penulis, sang pembaca, dan seorang editor - dianggap sang tokoh cerita dalam buku, Mrs. Dalloway. Ini tentang hubungan kehidupan dan waktu diantaranya, serta karya sastra yang bisa mempengaruhi. Kisahnya diawali tentang seorang perempuan-sang penulis bernama Virginia yang berjalan menuju sungai besar. Si gadis memasukkan batu ke kantong mantel panjangnya, lalu turun perlahan ke sungai, berusaha menenggelamkan diri. Ia mempertanyakan kematian dan filsofi tentang kehidupan, juga cinta dan hubungan, terkait dengan hasratnya yang besar untuk menulis cerita yang sempurna.
Mama pikir, konyol sekali. Betapa hidup terlalu berharga untuk dikorbankan sebelum waktunya. Mama seringkali berpikir bahwa persoalan hidup tak ubahnya daun kering, melayang di jalan berangin, mudah dilangkahi ketika telah terhempas ke tanah.
Ternyata tak semua semudah yang dipikirkan, yang dikonsepkan bertahun.
Ia ingin tenggelam.
Dan film itu sungguh menginspirasinya, walau konyol. Ia lupa bahwa film seringkali adalah refleksi kehidupan yang tak sempat tersampaikan dalam realitas.
Tenggelam…ia ingin tenggelam…
Di benaknya, akal sehat dan kekalutan bergelut sengit. Ia benci kekonyolan konsep penenggelaman diri ini, tapi sulit sekali untuk keluar dari cengkeraman kekalutan yang merangsek ke batas akal sehatnya.
Ia tahu, tenggelam itu hanya simbol pelepasan tanggungjawabnya terhadap realita. Tak seorangpun akan memahami rahasia yang ia bekap rapat. Tak ada dan tak perlu mengajak orang lain bicara tentang ini, karena merasakan adalah otoritasnya. Orang lain yang menerima ceritanya hanya menangkap pantulannya saja, tidak benar-benar bisa merasakan. Bukankah semuanya begitu..?
Sungguhpun ia tak ingin dramatis, ia menyesali satu pagi awal kebersamaan dengan Papa.
Papa.. yang mencintainya sangat, selalu, dalam kata mesra tak tertolak.
Papa, yang menciumnya dalam keremangan pagi buta di antara liuk jalan perbukitan dan kilau cahaya kota, yang mencumbunya di muka laut dan didepan para tukang perahu sederhana, yang menggenggam tangannya dalam setiap remang malam dimanapun mereka menemukan petualangan berdua.
Papa, yang aroma lehernya menyisakan candu kerinduan, yang juga merindunya di kala berdampingan.
Papa, yang kepadanya ia berikan kendali atas perasaannya, hari-harinya, gerak tubuhnya.
Papa, yang … oh papa.. yang hanya kepadanya ia merasakan kebencian sekaligus cinta yang dalam.
Papa miliknya, dan juga… ah, betapa sakitnya mengucap yang tak terkatakan.
Papa tak pernah benar-benar pergi dari Mama, tapi Papa telah kehilangan suara dan sapanya yang berhasrat. Setidaknya beberapa bulan sebelum ia pergi melintas lautan yang dicintainya.
#
Menggenggam kerikil di kantong jaketnya, Mama mengingat malam terakhirnya bersama Papa.
Di satu hotel klasik yang nyaman di pinggir kota kecil. Malam begitu tenang bersiap menguping peristiwa selirih apapun dalam kehidupan mereka, terutama Mama.
Mama telah di kamar, bersama televisi yang menyala, seprai linen putih yang nyaman, secangkir teh mengepul untuk Papa, dan rindu yang tak jelas bentuknya. Perasaannya sangat tenang, namun justru ketenangan itu berusaha menipu kegelisahannya. Papa berjanji datang.
Dua jam berlalu.
Dan mama baru saja mengantar kepergian papa di pintu kamar, setelah berpelukan sekedarnya. Pelukan terakhir mereka.  Malam masih menguping, meskipun kini hanya suara nafas lirih Mama yang terdengar. Mama sudah tak mampu lagi berkata.
Papa pergi dari Mama.
Entah hanya tubuhnya, entah hatinya ikut serta.
##
Saku Mama melorot keberatan kerikil yang berjejalan didalamnya. Ah, hatinya juga melorot. Ia sedih mengingat kembali pertemuannya dengan Papa di malam terakhir mereka itu.  Dan ia mulai mempertanyakan hatinya, yang kini datar. Ia tak ingin kehilangan Papa, namun juga tak mau mempertahankannya lebih lama dari batas kemampuannya. Ia tahu bahwa ruang untuk Papa dalam jiwanya telah banyak merenggut ruang-ruang lain yang selama ini milik hasrat pribadinya bergempita dalam hidup. Ia hanya inginkan keseimbangan dalam jiwanya.
Mama melangkah gontai menuju ke sepeda motor yang setia menungguinya di pinggir jalan. Berat kerikil di sakunya membebani langkahnya. Tak nyaman berjalan dengan beban.
Ia memutuskan membuang seluruh kerikilnya, tanpa sisa. Kekonyolan ini harus diselesaikan. Paling tidak, diganti dengan kekonyolan-kekonyolan lain yang lebih memuaskan hatinya. Astaga, Mama!
Hari-hari berikutnya adalah hari pencarian makna cinta dan hidup bagi Mama, menurut pendapatnya.
Kota ini tak lagi memberikan kenyamanan baginya. Tak juga keramahan manusianya.
Hari-hari terkurung bersama dirinya dalam kamar petak sembilan meter persegi. Musik yang mengalun setiap pagi tak lagi mampu memenuhi jiwanya dengan irama. Belasan film ia tonton dalam ruang gelap bioskop hanya mampu memberikan ruang kesendiriannya, saat adegan demi adegan yang mempertontonkan ‘kemanusiawian’ berganti, dengan otorisasi sutradara. Lagi-lagi manusia.
Ia tak mampu makan, tak mampu tidur, hanya mampu memejamkan mata dan membungkam kata-kata meluncur melalui bibirnya. Tapi ini bukan meditasi.
Mama pergi ke perpustakaan universitas tertua di kota ini. Legalah hatinya, ratusan buku yang terpajang pada rak-rak kayu tua tampak ramah seolah mengerti kebutuhan batinnya. Mata Mama terpuaskan merasakan tenangnya ruangan buku ini, ia seakan tertemani, sebenarnya kesunyian jiwanya yang merasa tertemani. Ia duduk, mengamati sejenak lelaki dan perempuan disekitarnya, semua berwajah serius, tapi memiliki titik-titik tertentu di sudut pikiran mereka tentang arti kunjungan ke perpustakaan ini. Hmm, mereka pun individualitas yang menarik hati.
Ruang baca itu hanya mampu menemani selama dua hari.
Mama mencari persemayaman yang lain.
Kafe? Sudah lama ruang eksklusif itu tak memuaskan seleranya untuk mendapatkan ruang privasi. Bercangkir-cangkir kopi aneka rasa telah ia cecap dari belasan atau mungkin puluhan kafe. Yang paling sederhana maupun yang paling eksklusif. Apakah Mama inginkan citra? Tidak! Ia menginginkan ruang yang mampu menerima dia sepenuhnya. Entah kafe kota, entah angkringan desa. Menerima kegelisahannya, disini, dalam pikirannya tentang Papa. Ini bukan lagi persoalan cinta, tapi ruang jiwanya yang harus dikembalikan, utuh.
Apakah perlu lagi ke toko buku? Memuaskan dahaga dompetnya untuk buku-buku yang selalu tak selesai terbaca? Membeli dengan sia-sia lagi? Memandang wajah buku pun tak menarik minat Mama untuk menyibaknya sampai ke jantung cerita.
Mama memutuskan pergi dari kota ini.
Apa yang ingin dia lakukan, apa yang terbersit dengan segera di benaknya, harus segera dilakukan. Ini cara untuk mengatasi kelemahan dirinya. Segera dan harus segera!
Ia mengingat kerikil kecil dalam kantong yang dulu telah ia buang. Mengingat bahwa masa kecilnya ia selalu suka mengumpulkan bebatuan, mengapa tidak ia pergi ke tempat dimana ia akan menemukan banyak batuan? Atau gundukan-gundukan tanah yang baginya menghadirkan wajah sang bumi? Oh, Ibu Bumi…mungkinkah engkau yang akan membasuh jiwa ini..?
Suatu pagi yang terencana dengan singkat, berdirilah Mama disamping rel kereta lajur 4 stasiun terbesar kota itu. Satu gerbong untuknya menanti, kursi terdepan telah bersiap diduduki. Kereta ini menuju ke satu kota di Jawa Timur. Disanalah ia akan menuju.
Ke gunung dengan panorama paling elok yang pernah ia lihat.
Bagi Mama, inilah kerikil besar yang semoga bisa mengokohkan tapak kakinya, dan menguatkan nafasnya.

O Ibu Bumi..
Peluk dan basuh wajah anakmu ini dengan debu hangatmu!
Topanglah tapak-tapak langkahnya saat ia mendaki gurat-gurat sang hidup
Undanglah mereka, sang angin malam dan kelam langit, untuk bersaksi bersama bintang-bintang
Tentang dia.. tentang nafasnya yang terserak di norma semesta
Ratakanlah, ratakanlah serupa wajah bumimu yang selalu teduh sayu..

 (masih bersambung...)





Manila Bay: Cloudy Afternoon

 Manila Bay
Cloudy afternoon





Sabtu siang.
Dan tak tahu yang harus dilakukan.
Sedikit ritual akhir ajaran, berfoto bersama Mam Cortez, Sam, dan Peter (Mark and Brennick wasn’t there). Souvenir untuk waktu, foto-foto itu.
Masih mendung dengan satu-dua tetes hujan di sepanjang jalan yang butuh perbaikan ini, Taft Avenue.

Aku hanya butuh makan siang, walaupun tak lapar. Tapi, kopi kalengan dari Thailand pagi tadi yang kuminum meninggalkan sedikit rasa mual. Pengganjal perut yang sederhana dan bercitarasa kubutuhkan sekarang. Pilihan biasa, Mc. D (ato Mac Do sebutan disini), kemudian kuingat yang sama, berbau lokal, Jollibee, persis di seberang jalan.
Keputusan itu persis kubuat di pelataran Mc. D, saat mengucap salam perpisahan dengan Peter (Wang Bo, identitas nasionalnya). Pemuda yang menyenangkan, walaupun bicaranya (bahasa Inggris) terpatah-patah dengan logat cina-nya yang kental. Anak yang baik.
Kami saling mengucapkan kata yang diyakini memberi harapan dan keberuntungan satu sama lain. Dia akan kembali ke Cina, memberiku nomor ponsel-nya dan email disana. Ia tak punya Facebook, Facebook dilarang disana, bukan karena ‘diharamkan’, tapi lebih karena pelarangan pemerintah atas website luar-negara. Hmm, nasionalis ataukah chauvinis? Kupikir, itu salah satu upaya “bela-negara”. Bagus juga.. (saat itu aku baru sadar, Facebook tak selalu berguna untuk bertemu teman lama)

Masih mendung.
Dari Jollibee, terlihat pemandangan khas Metro. Jeepney warna-warni yang ‘keras namun berusaha ceria’, sepasang kekasih bergandengan mesra berjalan riang di trotoar, tiga anak kecil berlari menyeberang jalan, tukang pedicab berseru manis mencari pelanggan.. menawarkan kenyamanan pedicabnya yang sederhana. Diatas deru jalanan, LRT Yellow-Line menderu bersuara serupa besi bergesekan bercampur peluit, dilatarbelakangi gedung-gedung belasan lantai menjulang bangga.
Ah, warna-warni dalam kelabunya udara.

Aku tergerak menjadi ‘walker’ lagi. Jariku menelusuri peta digital, mencari arah laut yang kutahu tak seberapa jauh. Karena melihat laut aku akan merindukan seseorang yang menyukai cakrawala.
Siapa tahu kutemukan lebih dari sekedar laut disana. Mungkin “message in the bottle” dari seseorang dalam melankolika di belahan bumi lain, mungkin sudah menjadi renta. Atau, mungkin juga melihat putri duyung terdampar, siapa tahu? :D
Kuikuti alur O’Campo Street, melintasi R Street, Mabini, dan akhirnya Roxas, dimana ada boulevard disana. Cukup terkejut, karena nuansanya begitu berbeda dengan metro manila yang hanya terpaut kira-kira sepuluh menit berjalan kaki.
Suasana kota modern yang bersih dan lapang menawarkan diri untuk dijajahi. Di seberang jalan berdiri megah Cultural Center of the Philippines (CCP), gedung yang menyajikan ‘misi budaya’ dan pertunjukan. Dengan taman luas dan air mancur yang menyemburkan air beberapa meter keatas membaur dengan angin, gedung itu menjadi point of interest dari Roxas Boulevard.
Air berbaur dengan angin.
Air dan angin. Dua kata itu menarik perhatianku beberapa hari ini.

Kuabadikan beberapa moment dalam kotak kecilku yang pandai bicara ini, termasuk potret seorang perempuan (terlihat) tak waras sedang terbaring di tengah jalan dan meneriaki entah apa. Teriakannya seakan mengekspresikan kebebasan yang dia miliki, sementara orang lain menatapnya dengan berbagai persepsi dan ekspresi rasa, mungkin geli, takut, iba, atau marah seperti seorang petugas berseragam biru yang menudingnya dengan wajah murka dari trotoar tempat aku berdiri.
Sementara aku dan beberapa orang menyeberang jalan, perempuan itu berlari tak karuan sambil menubruki mobil-mobil di jalanan. Ah, kasihan dia.

Pukul 14 lebih 10 menit (waktu Manila) saat aku menemukan laut ini.
Deretan gedung-gedung “pemimpi langit” berdampingan, berdesakan di sepenjang dermaga di kejauhan sana, seakan membuktikan tak ada jarak lagi antara alam dan modernitas, atau mungkin membuktikan mereka merajai alam. Aku tak terlalu peduli, karena suasana ini sudah menjebakku ke alam nostalgi baru.
Empat lelaki melemparkan kail ke laut. Mereka masih terlihat muda dan kuat, membiarkan tubuh mereka terendam air sepanjang pinggang. Kutahu saat itu pastinya air sedang sangat dingin, karena mendung kelabu dan tetesan air hujan terasa satu dua kali menitik diatas kepalaku.
Tongkat pancing melengkung lentur seiring gerak para pemuda itu, bergantian. Entah apa yang mereka pancing. Sepatu bot kukira tangkapan terbesarnya (seperti di komik Donal Bebek).
tiga pemancing
Di trotoar yang juga dermaga berubin merah itu terpancang tiga tiang dengan bendera berkibar ringan. Bendera paling tengah sudah kukenal dengan baik, bendera Filipina. Dua pendampingnya, satu berwarna merah dengan semacam simbol di tengahnya (serupa swastika yang terpecah dan meliuk-liuk), satu lagi berwarna putih dengan tulisan “Harbour Square”. Itu identitas tempat ini. Dimana ada bendera, pasti ada kebanggaan yang ditampilkan seirama kibarnya.

Beberapa camar melintas. Tidak besar. Kecil-kecil saja.
Dua diantaranya terbang santai memutari dua kapal cruiser. Burung yang terbang di belakang tiba-tiba menukik tajam, menyambar sesuatu dari permukaan air. Seekor ikan kecil yang malang, mungkin. Aku hanya berharap itu bukan Marlin atau Dory yang sedang mencari Nemo.

Oceana Maria Scuba, satu cruiser tepat di sudut pandanganku, menarik perhatian. Warnanya biru tua dan putih (warna khas bahari), tidak glamor, tidak formal, tidak ‘tajam’, punya banyak jendela kotak kecil-kecil, dan namanya sangat bersahabat, serupa perempuan muda sederhana nan manis.
gadis manis "Oceana Maria Scuba"








Di sebelahnya berlabuh cruiser-cruiser lancip panjang, besar-kecil, berkesan ‘petualang modern’, bentuknya selaju dengan kecepatan. Tapi, berbeda dengan yang lain, si Maria ini tenang dan kokoh, namun manis.

Aku menyusuri trotoar ubin merah selebar tiga meter di sepanjang dermaga. Tempat ini tenang dan memancing kerinduan, mungkin kerinduan akan kekasih. Atau, bisa juga tempat ini cocok untuk seorang gadis yang sedang patah hati atau ditinggal pergi jauh kekasihnya, gadis yang butuh ketenangan sekaligus teman. Ini mendukung keduanya. Ato justru lelaki? Lelaki Filipina (seperti yang kudengar) rata-rata melankolis.
Sementara, berderet di sepanjang dermaga, kafe-kafe menawarkan tempat keleluasaan untuk kaki yang lelah. Di satu bagian perlintasan ruang terbuka, kursi-kursi biru berjejer rapi menawarkan keramahan. Nuansanya khas open-air space, budaya barat.
Payung-payung pantai warna senada kafe terbuka, menawarkan perlindungan untuk jiwa yang mungkin kesepian. Bukan aku.
Aku tak sedang kesepian, hanya bergayut pada kerinduan yang belum menemukan batasnya, hari-hari ini. Ada sosok yang menyukai lautan di seberang pulau sana. Laut ini mungkin menghubungkanku dengannya. Kuharap.

Kupesan kopi, panas.
Seperti biasanya, kunikmati perlahan, hingga mendingin.
Mencecapnya tanpa suara, hanya suara kertas bergesekan dengan ujung pulpen, temanku berbagi cerita disini.
Ceritanya mungkin akan lebih banyak lagi, jika kopi tak segera habis, atau senja tak lekas pudar.
Semakin banyak orang, semakin banyak kubayangkan kisah-kisah mereka. Kisah yang mereka alami yang membawa mereka sampai ke dermaga ini. Tentunya banyak sekali, dan itu tak akan pernah cukup satu buku menuliskannya.
Seperti anjing kecil yang lucu dengan dua gadis, majikan mudanya itu. Kisah apa yang pernah terjadi pada mereka, mungkin menarik untuk direka-reka. Yang kutemukan dari ekspresi mereka sekarang adalah kebahagiaan, terutama ketika anjing mungil mereka dikerumuni sekelompok pemuda yang membuat mereka berkenalan. Tapi,siapa tahu yang terjadi satu hari atau satu menit sebelumnya?
Angin disini membawa rahasia mereka, bertiup pelan, dan menguar lenyap.
kopi, kertas, dan pena tiga meter dari "si Maria"

Ceritanya mungkin akan lebih banyak lagi,
Jika kopi tak segera habis..
…atau senja tak lekas pudar..
Mungkin semakin banyak orang,
..semakin banyak kisah..
Semakin banyak angin, semakin awan menggulita..
Angin disini membawa serta rahasia mereka,
..terlihat pada riak air, membelai rambut,
..berpusar pelan, dan akhirnya menguar…
…lenyap.
Denting samar titik hujan ini,
Yang akan menjadi melodinya,
Sampai kisah mereka pulang lagi, nanti,
Sebagai nostalgi.



Pattrasani
Manila Bay and the Cruisers – September 29th 2012