Kamis, 29 Desember 2011

merayakan hari

Merayakan Hari
- membakar pohon belimbing -

 








Jika di negeri Barat, saat ini aku mungkin tengah bermain salju. Tapi kenyataannya, saat ini – di negeri Tenggara – aku sedang memelototi gambar geometris yang disebut orang dengan nama keping salju (snowflake). Gambar ini ada di sebuah kartu ucapan perayaan suatu hari yang bermakna istimewa bagi satu kepentingan sebentuk umat.
Merah dan hijau. Dua warna itu simbol identitas hari istimewa ini.
Natal. Hari Kelahiran.
Temanku lahir hari itu juga, 26 tahun yang lalu. Tapi ia tidak identik dengan warna khusus. Setahuku ia suka warna biru. Ah, ternyata waktu yang terentang panjang dalam pertemanan kami tak membuatku mengingat dengan pasti warna favoritnya. Yang jelas, ia suka banyak warna ceria yang sering tergurat dalam karya-karyanya.
Namanya juga mengandung kata Natal, namun ia tak merayakannya dalam spiritualisme. Ia merayakan hari dengan simbol identitas warna hijau saja. Lebaran (hari saat semuanya ’lebar’ alias usai, usai diartikan ’menang’).
Nama temanku ini justru menunjukkan identitas akan sebuah momentum saat ia dilahirkan. Ini mengingatkan betapa momentum Natal itu dihargai secara universal. Orangtua temanku menghargainya dengan merekamnya pada nama buah hati mungilnya. Tak terkait dengan keyakinan yang dianut. Ini adalah apresiasi terhadap peristiwa. Peristiwa yang bermakna.

Entah sejak kapan orang mulai menyematkan identitas melalui warna. Seperti halnya Natal dengan cemara, salju, keping salju, mistletoe, hijau dan merah. Seperti juga Lebaran dengan ketupat plus opor ayamnya, dan hijau. Warna kemudian berasosiasi pada simbol makna. Padahal banyak bidang ilmu yang merepresentasikan warna yang sama dengan makna berbeda. Orang psikologi mengatakan warna merah gerai KFC dibuat supaya orang tidak betah duduk lama-lama di tempat itu. Sementara desainer interior mengatakan warna merah justru akan membuat orang merasakan nikmatnya makanan, menikmati suasana interior yang ’lezat’. Terjadi dua kepentingan.

Kepentingan budaya dan geografis juga yang menciptakan simbol-simbol Natal itu.
Mengapa kita harus pasang cemara padahal kita sudah punya pohon beringin, atau pohon pisang, pepaya, ketela, atau pohon petai?
Waktu aku kecil, saking kepinginnya bikin pohon Natal, aku melemparkan beberapa kembang api yang sudah menyala ke puncak pohon belimbingku yang tingginya empat meter lebih. Kuulangi hal yang sama di pohon talok kakekku. Setiap kali kait kembang api nyangkut di ranting, sepupu-sepupuku bersorak girang. Aku semakin berpuas diri dan melempar lagi..lagi.. dan lagi. Hingga pohon itu cemerlang dengan pendar api yang menghanguskan satu-dua daunnya. Aku senang sekali walaupun setelahnya dimarahi karena mungkin aku dianggap akan membakar pohon itu. Yang penting ’kan konsep pohonnya ’terang’..hehe begitu menurutku.
Dan, kenapa harus pakai keping salju kalau kita hanya memiliki butiran air musim penghujan?
Lagi-lagi kiblat budaya yang membuat kita mengidentifikasi sesuatu, dijadikan hegemoni bertahun-tahun. Menyamarupakan ’kemasan’, sementara citarasa kita berbeda. Padahal, dimanapun dan dalam kemasan atau citarasa apapun ’hari’ itu dirayakan, maknanya tidak akan berubah.
Tapi, yah.. banyak orang menyukai kemasan daripada isinya. Kita tak bisa menghalangi kesenangan banyak orang, bukan?! Tidak semua orang menyukai perubahan :)
Ironisnya, dalam periode budaya yang nge-pop ini, banyak pemikiran radikal muncul ke permukaan. Banyak pendapat dan bahkan kiblat keyakinan berkembang. Banyak eksperimentasi ide yang tanpa batasan. Banyak hegemoni diluluhlantakkan.
Banyak hal menjadi relatif pada akhirnya. Yang kemudian memicu konflik karena tak sepaham.
Bagiku, apapun mungkin, sehingga tak perlu diperdebatkan ke’pasti’annya, tinggal ikuti saja fokus kita.. maka dunia akan terasa nyaman ditinggali :)

Tak begitu peduli dengan dua warna itu, akhirnya aku memilih menyukai kartu dengan background warna biru dan keping salju perak yang mirip dengan ukiran masa rokoko di Perancis. Untuk dipandangi saja. Cantik.. memandanginya menerbitkan rasa bahagia.
Karena itu, aku suka hari-hari semacam ini. Karena ada sesuatu yang dirayakan dan ada ’semangat’ yang memenuhi atmosfer tempat-tempat tertentu. Banyak orang menjadi sumringah, banyak kebaikan hati, banyak kegembiraan, walaupun banyak juga yang kemudian ’memanfaatkan’ royalnya kegembiraan itu. Biasa, pedagang.
Walaupun aku tak merayakan hari ini, tapi aku ikut merayakan kegembiraannya. Ikut antusias berbelanja, ikut mengagumi pernak-perniknya, ikut bernyanyi-nyanyi, ikut tertawa, ikut tertular semangatnya. Sama seperti ketika Lebaran, tertular nuansa spiritualnya.
Mungkin, untuk itu Tuhan menciptakan keberagaman dan kebersamaan.
Entah itu merah atau hijau, mungkin Tuhan lebih menyukai kita bahagia bersama.


Pattrasani
Jogja, 26 Desember 2011 – 05:15
(begadang karena sakit gigi, dan karena tidur siang dua kali :D )

Rabu, 21 Desember 2011

pamer karya coretan pensil


Menggambar beginian bisa ngilangin stress, melatih kesabaran, sekaligus menguji tingkat emosional juga..hehe
satu jam cukup lah buat nemu karakternya
dua jam bisa nambah arsir dasar en detail tapi ga 'nge-soul'
tiga jam bisa selesai sampe detail tapi pasti masih pengin nambah arsir sana-sini
duabelas jam...naaa ini nge-soul, tapi jangan berani colak-colek ya...sabarnya udah terkuras habis tu...
saya yakin Anda yang suka nggambar beginian juga ngerasain begituan...:D

Rabu, 14 Desember 2011

Gadis Belia dan Gitar Kecilnya


Mengingat tentangmu, wahai gadis muda... 
Kauserahkan tarikan nafasmu pada debu dan angin jalan yang panas.. 
tak peduli siang begitu kejam, malam begitu panjang untuk kau duduk diam dan merenungi setiap butir nasi pada dapurmu.. 
Hanya menginginkan anakmu dapat susu, dan waktu yang kaumiliki tak terbuang percuma. 
Kau hanya inginkan kehidupan, bukan bakat yang tersia-siakan.
Untukmu, di sudut manapun kota itu..


- memoar tentang seorang gadis belia di satu titik keramaian Jogja Utara (Pattrasani, 2007) -

secuil wacana tentang DKV


Generalis yang Spesialis
- Kontekstualitas dengan Profesi Desainer Komunikasi Visual –
Oleh: Arwin PJ


Ketika menyematkan label desainer atau calon desainer Komunikasi Visual (Komvis), puluhan atau bahkan mungkin ribuan pertanyaan memberondong masuk kedalam ruang benak: Akan menjadi desainer yang seperti apa?
Bukan tidak mungkin, karena cakupan wilayah disiplin ilmu Desain Komunikasi Visual (DKV) begitu luas. Seorang calon desainer komvis seakan wajib membawa ‘peta’ untuk menemukan jalan keluar dari labirin DKV yang membingungkan. Dalam konteks ini, membingungkan bukan berarti menyesatkan. Karena menyesatkan berarti tidak ada orientasi. Sehingga, peta diperlukan dan sudah pasti telah dipersiapkan oleh institusi pendidikan terkait.
Disiplin DKV memungkinkan terurainya tali-tali kreativitas individu, dibentangkan untuk mengalirkan gagasan-gagasan kearah yang sesuai. Bukan membuatnya menjadi kusut. Dan tali-tali ini seyogianya akan dibawa menyusuri lorong-lorong labirin sebagai perantara arah keluar. Logikanya, tali kreativitas yang memuat gagasan akan dibawa serta ke ‘lorong’ manapun yang akan dituju seorang desainer.
Artinya, sebentuk ide yang dimiliki tidak akan hilang atau berkurang, akan terus terbawa dari “start”, diperkaya dengan ide-ide baru, sampai menemukan output yang tepat sebagai wadah ide tersebut, dan sebuah “achievement” yang pantas didapatkan, yang berarti “jalan keluar”.

Seorang generalis, yang dimaksudkan sebagai desainer yang memiliki berbagai potensi maupun mengerjakan berbagai karya desain (dalam standar tertentu), baik berupa grafis cetak atau multimedia, komunikasi massa (seperti iklan visual), maupun bentuk seni terapan yang dekat dengan seni murni seperti ilustrasi.
Komunikasi visual yang memuat kebutuhan komunikasi (penyampaian pesan) serta informasi dalam bentuk rupa (visual) memiliki kompleksitas untuk dijelajahi satu persatu.
Kehebatan seorang generalis adalah, ia cukup potensial untuk memasuki berbagai ranah DKV sebagai profesionalitas. Yang berarti, ia cukup “mumpuni” atau kompeten dalam setiap bidang DKV. Mungkin cukup “pas” jika diberikan predikat “adaptable-professionalist”. Semoga istilah ini cukup deskriptif.
Kekurangannya (untuk tidak menyebut kelemahan), personal branding-nya kabur atau samar-samar. Karena mem-branding diri alias ‘menjual diri’ memerlukan kualitas ‘dagangan’ yang kuat. Apa yang mau dijual? Seberapa bagus kualitasnya? Sepintar apa menawarkannya? Kemana harus ditawarkan? Yang notabene – supaya laku.
Disini, mungkinkah kita menemukan satu istilah lagi?
Potential-specialist, spesialis yang potensial.

Seorang spesialis lebih mengkhususkan mendalami bidang tertentu. Katakanlah, fokus pada satu bidang disiplin DKV. Menjadi seorang profesionalis atau bahkan idealis. Apalagi dengan kondisi dunia DKV yang rentan dengan perubahan sesuai perkembangan zaman.
Senjatanya? Seorang spesialis harus memiliki ‘ilmu bertahan’ atau ‘menyerang dengan kekuatan penuh’. Jelas, hal ini berhubungan dengan skill yang kuat, juga kecermatan memilih ‘lahan pertarungan’ dalam dunia komunikasi visual.

Jalan tengah?
Menjadi generalis yang spesialis. Dimaksudkan sebagai desainer (komvis) yang menguasai berbagai bidang ilmu DKV, juga memiliki suatu kekhususan (spesialisasi) sebagai identitas potensial personalnya.
Desainer dengan identitas ini menjadi adaptable, sekaligus memiliki brand-image atas potensinya. Sehingga, kompensasinya berupa eksistensi dalam dinamika dunia komunikasi visual.

Kembali pada pertanyaan: Akan menjadi desainer yang seperti apa?
Pertanyaan ini sesungguhnya merujuk pada motivasi calon desainer komvis, yaitu mahasiswa DKV.
Labirin menjadi metafora atas perjalanan studi yang berjenjang dan “njlimet”. Kalau boleh meminjam istilah “perguruan silat” dari seorang rekan dosen (pinjam ya, Pak Adi:)..) untuk mendeskripsikan tahapan pembelajaran, maka gagasan-gagasan yang dibawa dari satu lorong ke lorong lain dalam labirin studi DKV akan diuji secara bertahap sampai melekat dalam benak mahasiswa dan secara tidak langsung memperkaya potensi berikut khasanah ilmu DKV dari waktu ke waktu.
Permasalahan yang terjadi, seringkali mahasiswa masuk progdi DKV berbekal informasi seputar “popularitas” DKV, bukan “identitas” DKV. Sehingga, pada tahun-tahun awal, suasana akademikal DKV terasa kurang welcome.
Kemungkinan, disinilah mental mahasiswa teruji.
Mahasiswa yang telah mengenal DKV akan bersikap “enjoy aja”, mahasiswa yang pintar secara akademis akan berkata “no problemo”, mahasiswa yang fokus dan idealis akan menentukan langkahnya sendiri pada bidang DKV tertentu (“no comment”), mahasiswa yang percaya diri dengan potensinya akan ‘melahap’ seluruh materi yang diberikan secara maksimal (“yes, Sir!” katanya), sementara mahasiswa yang tidak tahan uji akan berujar, “well, I’m out”.
Masing-masing memiliki pilihan, dan masing-masing pilihan akan menghadirkan konsekuensi didepan, terkait profesi berikut komitmennya.

Observasi alakadarnya yang tidak berapa lama dari kacamata profesi tersebut menelurkan beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah: Apakah ide tentang menjadi generalis yang spesialis mampu menjadi eksposisi atas opsi masa depan mahasiswa (secara personal).
Atau, jika memungkinkan, mahasiswa perlu diajak “gila” (“bagi ilmu lan ajar”, lagi-lagi meminjam tajuk suatu workshop), dalam rangka mengenali diri dan potensi, setapak demi setapak mengambil langkah untuk menjadi seorang komunikator visual generalis, spesialis, atau generalis yang spesialis.
Perlukah?


Semarang, 16 Mei 2010
-dimuat dalam buletin Tuturrupa edisi 02 tahun 2010-

Selasa, 13 Desember 2011

Tidak Setiap Hari

bukit Banaran Ambarawa
antara sumbing-sindoro

napak tilas Kotalama Semarang
Rawa Mangrove Pesisir Utara Semarang
jalan setia ku, sisi tol menuju

Tidak Setiap Hari


Berteman sebungkus keripik tempe dan sekaleng minuman soda rasa sarsaparila, berjegang kaki, kumulai catatan ini sambil mengumpat kecil dalam hati yang setengah penuh.

Sering kugunakan uangku untuk membeli sesuatu yang tak masuk akal; kebebasan, harga diri, kebanggaan, lebih sering lagi kepuasan lahir..hedonisme.
Jalan-jalan ke mal, mungkin ini pilihan terbatas dalam waktu dan lingkungan yang terbatas untukku melepas lelah akan rutinitas harian. Dompet melempem tak peduli. Bosan, mungkin. Tapi, aku berada dalam situasi yang cukup melegakan bagi seorang perempuan seusiaku (aku masih tergolong muda :D ), lajang, hanya mengikat diri pada pekerjaan yang setengahnya tanggungjawab moral, dan setengahnya lagi idealisme. Kepentingan yang kuharuskan kupenuhi demi stabilitas mentalku :D.

Pikiranku tak serumit dulu. Tapi bukan berarti tak ada persoalan yang begitu mudah dihadapi. Ketika itu datang, timbunan emosional yang menyertainya akan tergantikan dengan timbunan kalori dalam cemilan dan minuman soda, bertebaran diatas kasurku.
Maklum, aku tinggal sendirian. Tak akan ada yang protes dengan gaya hidupku. Saat ini, aku seberuntung itu.

Obrolan pagi yang hangat dengan sepasang teman di sebuah pojok warung kopi kemarin mengulur kembali ingatan tentang tenggang usia dan mimpi-mimpi. Ketika dinamai mimpi, berarti ia belum berwujud, belum digenggam, dan seperti bayangan – ia mengikuti kemana dan bagaimana tepak-tepak langkah kita.. selayaknya mimpi tidur mengikuti napas yang teratur.
(sebentar, aku makan wafer dulu. Aku suka wafer lapis cokelat krispi karamel ini kurasa karena bungkusnya yang berwarna merah, menggoda iman. Camilan pun bisa di-judge covernya, tak peduli rasanya :D)

Setiap perempuan memiliki titik tertentu dalam hidupnya, yang kurasa akan membuatnya berhenti melangkah untuk sekedar menarik napas dan merasionalisasi diri. Sekolah, bekerja, menikah, sekolah lagi, mengurus anak.. memenuhi hidup yang lain, sebagian hal yang menjadi pilihan langkah berikutnya. Mimpinya tertunda. Kalau sudah begitu, ia menjadi wanita biasa, praktis, sederhana saja.
Membiarkan hidup datang kepadanya yang berdiam diri.
Ia tidak lelah. Hanya mengambil tawaran kehidupan untuk berjalan apa adanya, tanpa diskon ataupun bonus. Hasrat telah disembunyikan, mimpi disangkarkan sementara. Dan jika tiba saatnya nanti, di waktu yang tepat, di saat orang-orang telah memahaminya sebagai individualitas, hasrat itu akan dikeluarkan, mimpi akan digenggam lagi.. kelak, dan berharap disanggupkan seperti semua orang menyanggupkan kedatangan hujan dan matahari.

Mengingkari teriakan-teriakan penuh semangat di masa kecilku dan imajinasi-imajinasi liar masa remajaku, mungkin nanti aku akan seperti itu juga. Menerima kehidupan berjalan apa adanya, seperti malam berganti pagi. Mungkin juga tidak.
Hidupku berirama.
Aku tahu itu.
Tak ada yang tak berasa. Semua hal yang enak dan tak enak bergantian dalam lompatan nada maknanya. Ketika remaja, irama itu lincah dan riang, kadang menghentak naik-turun. Ketika dewasa, nadanya halus dan teratur, kadang datar, sesekali tinggi atau rendah, dan mudah disesuaikan iramanya.
Terkendali.
Namun, satu-dua kali irama itu berhenti.
Dan, aku merasa kosong. Kemudian, kekosongan itu akan terbayar mahal dengan aku melakukan hal-hal yang tak biasa untuk mengisinya. Aneh, atau gila, atau sakral. Tergantung perasaan.
Tidak setiap hari seperti itu.
Berjalan tanpa payung di saat hujan.. gerimis atau deras,
duduk di halte atau pinggir jembatan.. membiarkan kibas rambut bersama debu jalanan,
mengarungi aspal berkilo-kilo meter hanya untuk duduk berselonjor kaki begitu sampai di tempat yang kutuju, atau berusaha bertemu Dia melalui tangkupan telapakku dirumah-Nya dalam situasi tak terencana..
atau dengan otoritasku, mengurung diri dalam kamar gelap mengarungi bayang-bayang yang terpeta di bagian dalam kelopak mataku, berbaring sampai tertidur hingga petang. Tak tersadar esok atau malam.
Bagiku, ini bisa menaikkan level iramanya lagi. Dengan cara yang tak semua orang bisa mengerti.
Dan aku tak harus dimengerti (betul katamu, Hun..:) ).
Tak apa.
Aku hanya menuruti intuisi yang dipertandakan alam dan kehidupan kepadaku, supaya aku dapat mempertanggungjawabkannya kembali.

Ah, aku tak pandai mengungkap dalam kata.. jadi, biarlah catatan ini menjadi apa adanya.


Pattrasani
Kota bukit – Minggu, 11 Desember 2011 – 22:18

Minggu, 20 November 2011

Kota Bukit


Kota Bukit



Aku tinggal di kota bukit yang indah..
Dimana matahari pagi membagikan cahaya pertamanya, seperti lapisan-lapisan kilau sutera di setiap lekuk bukit kota ini.
Kata orang, kota ini tak bersemangat, tak ingin memperjuangkan kebaruan, tak berhasrat pada perubahan, tak ada cita rasa..
Tapi disini pulalah kusadari bahwa aku masuk dalam atmosfer natural, batas ambang antara modern dan tradisi, antara pergerakan dan perdiaman.
Tak banyak pergerakan, tak juga diam.
Aneh, apakah aku merasa karakterku berada dalam definisi yang sama dengan kota ini? Relevan?
Disinilah kutemukan kontras diriku, penutupan ambisiku, peredaman hasratku yang meluap, keliaran imajinasiku yang semakin terkontrol sekaligus tertekan.
Aku dinetralkan.
Tak ada keluarga, tanpa sahabat untuk berbagi kenangan, aku seakan diajak untuk menuliskan kisahku yang baru, pada tiap lembaran kosongnya.
Aku mulai menemukan persinggungan, untuk apa aku berada disini, untuk apa aku diperkenalkan dengan detak hidup kota ini.
Pertemuan dengan kota ini membawaku pada mimpi masa lalu, yang baru kusadari kutemukan dalam rahasia kota ini.
Tentang hidup, nuansa, kebebasan, kesendirian, tantangan, harapan, segala hal yang di masa lalu menjadi imajinasi diluar sadar.
Mungkin aku bisa mencintai kota ini...


Pattrasani
Kota bukit – Minggu, 7 Agustus 2011 – 01:01

Tentang kotak kecil tidurku di Roma


Kamar No. 26


01:15 am
Semarang-Kota Bukit, 13 Desember 2009


Jendelanya besar.
Dua jendela besar-besar, memungkinkan cahaya matahari menerangi dalam kamarku. Tapi, aku tak dapat memandang langit.

Jika kubuka tirai selebarnya dan kubuka pintu disampingnya, kurasakan angin dan cahaya. Seluruhnya, tapi tidak seutuhnya.
Aku bisa melihat pepohonan, ujung daunnya melambai dibalik jendela, tapi tak kurasakan segarnya.
Nyaman…, kamar kos ini benar-benar nyaman.
Tapi, seakan dipaksakan. Dibuat nyaman untuk ditinggali.. secara fisik, dalam sistem.
Dan aku tetap tak dapat memandang langit.

Aku senang.
Disini aku mendengar begitu banyak suara. Seakan tertemani.
Suara pagi, kelontangan peralatan dapur menghidupkan pagi, membangunkan matahari.
Celoteh riang gadis-gadis belia, obrolan lirih ketika rona hidup surut sesaat… betapa berwarnanya hidup mereka!
Ceburan air bak mandi, seakan rutinitas hidup ikut mengalir berkecipak bersamanya.
Juga musik.
Betapa musik mengiringi nada kisah setiap kehidupan, keseharian.
Dan, suara televisi di malam hari.
Ketika kesunyian ditandingkan…dengan hingar bingar gonggongan politik, rintihan ekonomi dan ratapan bencana alam, emosi hiperbolis film layar lebar yang direlokasi kedalam layar sempit.

Tapi, aku tetap tak dapat memandang langit.
Yang mendung…
Biru cerah…
Berawan…
Atau gelap berbintang…
Keluasan langit yang membuatku merasa hidup sebagai bagian sangat kecil keagungan ciptaan maha besar.

Dan aku kesepian.

Bukan karena tak ada teman, bukan karena tanpa suara, bukan karena tak merasa nyaman.
Karena pikiranku tidak merdeka.
Karena merasa jiwaku tidak pada tempatnya.
Karena inspirasi enggan mengunjungiku seperti biasa.
Dan aku bertanya-tanya: kenapa?

Mungkin…
Karena aku tak dapat memandang langit.

Kamar ini terlalu nyaman dengan fasilitas yang tersedia. Sehingga, aku tak merasa perlu bergerak.
Aku seperti tamu yang sekedar singgah sesaat, menginap.
Tak perlu menata kamar.
Tak perlu membeli barang-barang.
Karena aku tak merasakan ini “rumah”, yang membuatku bertahan untuk tinggal.
Aku merasa terikat untuk menerima apa adanya, pelayanan istimewa, yang membuatku merasa tak memiliki kewajiban untuk merawatnya, membentuknya menjadi seperti keinginanku. Mengasihinya seperti milikku, seperti rumahku.

Aku jadi terlalu manja.
Kenyamanan ini membuatku malas berjuang. Tak ada gejolak yang membuatku bersemangat mengejar ‘hidup’.
Padahal hidup begitu ‘menggoda’, begitu indah untuk diperjuangkan.

Aku akan mencari lagi… sebuah kamar sebagai ‘rumahku’, sebagai sahabat dimana dengannya kubebaskan pikiranku. Sebagai peraduan tempat melepas penatku, …di kota dimana energiku kucurahkan.
Aku akan pindah.
Ke tempat dimana aku dapat memandang langit.
Langit yang tinggi…, yang dengannya pikiranku takkan sepi.




Dua Hari Lagi


07:59 am
Semarang-Kota Bukit, 14 Desember 2009


Aku jatuh cinta pada tempat ini hanya dua hari sebelum kepindahanku.

Mungkin benar, bahwa cinta seringkali muncul disaat-saat tak terduga, saat-saat terakhir. Kesadaran yang terlambat menjelang perpisahan.
Kita butuh memastikan diri atau “menampar” diri sendiri bahwa perasaan itu telah datang. Dan, melihat baik-baik apa yang tersembunyi di relung hati.

Aku terjaga dengan perasaan tidak tenang.
Setelah berguling kesana-kemari, mengingkari kedatangan pagi, aku menyerah.
Kusingkap tirai, membuka semua jendela dan pintu lebar-lebar. Aroma pagi membekapku seketika, merasuk melalui pori-pori kulitku, menjelajahi setiap pembuluh darahku. Hanya untuk menyampaikan pesan kesejukan pada otakku yang masih tertidur.
Lampu-lampu putih di selasar masih menyala.
Sepetak langit mengintip dari celah kubah, langit-langit ruang terbuka antar selasar. Masih gelap. Langit muram dan sendu.

Kuambil air wudhu, menyapu lantai kamar – yang bukan kebiasaankuJ – , menghamparkan handuk mungil alas kepala, dan sembahyang.
Langit masih enggan melepaskan matahari dari peraduannya. Saat itu, perasaanku antara rindu dan gamang, walaupun tak tahu pasti apa yang kurindukan. Karena kerinduan biasanya merentangkan masa lalu. Dan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu tampaknya tak berhubungan dengan redup pagi ini, pagiku.

Dan kudapati diriku telah duduk menongkrong diatas tangga besi loteng terbuka lantai tiga. Lebih tepat disebut loteng jemuran, karena kawat-kawat besi dan tali berseliweran merintangi jalan. Tak tahu apa yang ingin kulakukan.
Tapi, aku dapat memandang langit disini, membentang diatas kepalaku.

Langit meremang.
Beberapa larik semburat kemerahan merebak di langit timur, berhiaskan awan kelabu.
Dimana bukit-bukit berdiri pongah, dan bertonggak-tonggak menara logam terpancang angkuh. Seolah merekalah penguasa-penguasa manusia. Mandor-mandor besi.
Kabut keputihan menyelimuti pemandangan jauh.
Mengaburkan warna, serupa lukisan ‘baru’ tersapu air. Lukisan rumah-rumah yang saling merapat menghangatkan, dilatarbelakangi pegunungan dan bukit-bukit jauh.
Sebuah kota yang memiliki kisahnya sendiri.

Walaupun masih tersisa remang pelita dari malam, keheningan pagi ini terasa menyesakkan.
Dan aku tahu aku telah jatuh cinta.

Seperti tertarik pada akhir kisah sebelum menutup buku. Kekecewaan ketika kisah itu berakhir. Kemudian segera memutuskan, buku itulah yang terbaik untuk dimiliki. Walaupun, perasaan itu surut perlahan seiring berjalannya hari. Lalu, kita menemukan buku lain untuk dicintai lagi.
Selalu begitu.

Hari-hari penuh kebimbangan berlalu sudah. Saat-saat membuat keputusan seakan telah dilalui dengan kerja keras. Dan, seringkali seperti ini, pada akhir sebuah pertanyaan.
Jawaban yang sesungguhnya datang pada saat-saat terakhir, secara tak terduga.
Saat kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan, dengan pertimbangan pikiran, bukan dengan hati.
Namun, jawaban yang kemudian muncul berupa ‘rasa’.
Yang paling berat bagiku adalah, ketika rasa cinta ini ditangguhkan. Seperti musim semi yang ditunda setelah musim dingin berkepanjangan.
Karena, aku mencoba menghargai proses berpikirku, pertimbangan yang berdasar logika, dan kecenderungan untuk menghindari sikap plin-plan.
Sehingga ‘rasa’ kadang terabaikan.
Sedikit sikap untuk menerima bahwa hidup ini dipenuhi dengan pilihan.
Dan pilihan akan menghadirkan konsekuensi di masa depan.

Aku cinta tempat ini.
Saat pagi sejuk…
Duduk dibalik jendela terbuka lebar, ditemani segelas kopi hangat dan sebotol air mineral…menuliskan buah pikiran.
Saat siang teduh…
Dengan buku di tangan, menelanjangi kisah-kisah.
Saat malam sunyi…
Dengan lembar-lembar kerjaan dan musik rapat di telinga.

Aku cinta tempat ini.
Dan itu takkan berubah. Sekalipun berada di tempat yang jauh.
Sebuah kenangan tidak memiliki kuasa berubah.
Betapa kenangan itu bertahan, dan kita akan mendapati diri kita tak akan pernah tua bersamanya.

Aku cinta tempat ini.
Mungkin, karena cinta tidak hadir begitu saja, dan tidak butuh alasan.
Dua hari lagi…
Sebelum aku pergi dari sini.

*******

sepenggal paragraf kabur makna



Sampai detik ini aku masih terpaku..di kursiku…

Kalian..anak-anak..tahukah tentang apa yang dikatakan orang untuk dilakukan?
Mengertikah kalian tentang perjuangan atas nama kehidupan yang lebih baik, politik dengan dalih kesejahteraan manusia?
Sanggupkah kalian merasakan apa yang tak boleh terkatakan ketika batas yang bernama kedewasaan itu mulai disematkan?

Tidak ada!
Tidak ada yang boleh kalian mengerti…
Karena hidup itu kejam, hidup itu penuh muslihat
Angkatlah tangan kalian,
Tutupi mata,
Tutupi telinga,
Tumpulkan indera perasa..
Karena kalian tidak punya kewajiban..
..untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi..

Hidupkan hati..
Yang akan membawa tangan-tangan kecilmu melambai..
Mengajak kaki-kaki kecilmu berlari..
Berlari..
Berlari...
Menerbangkan imajinasi tak bertuan

Bahagialah..

Bahkan ketika kami masih duduk terdiam di kursi kami..


Semarang, 29 November 2010 – 23:47
Pattrasani

hidup ini pinjaman


Hidup ini pinjaman..


Kadang, saat merasa bosan, tidak puas terhadap kehidupan, kita begitu ingin mengembalikannya.
Namun, mungkin kita telah dibekali kerangka paragraf untuk merangkai plot cerita kehidupan milik kita sendiri. Kadang kita mengabaikan kerangka itu karena tak pernah sabar dengan klimaks kisah kita.
Hidup itu seringkali serupa barang yang kita sukai, tak ingin melepas walaupun barang itu telah koyak..merasa barang itu yang terbaik milik kita, padahal kita punya banyak barang yang serupa. Masalahnya, cinta dan barang itu berusia sama. Tak rela, bahkan ketika orang pemberi barang itu yang memintanya kembali.
Kemudian kita akan menyesali waktu-waktu yang pernah lekat bersamanya.

Nyawa adalah pertaruhan
Ukuran untuk mengerjakan suatu perbuatan. Kita mengumpulkan poin-poin untuk saling dipertukarkan pada saatnya. Poin angka lebih dan angka kurang. Yang lebih akan menutupi yang kurang. Keseimbangan.
Kesenangan mungkin adalah angka kurang.
Penderitaan bisa jadi angka lebih.
Kembali pada pilihan. Walaupun secara naif kita berusaha mengerti yang sebaiknya. Tinggal tunggu akhirnya saja.
C’est la vie.. itulah hidup. Tak terduga.


Kemarin pagi..
Aku terjaga dengan suara ketukan di pintu. Mataku masih berat. Bayang-bayang sinar mentari pagi yang tak sanggup menembus korden membuatku merasa masih bermimpi.
Ternyata pintu terketuk lagi, lebih keras.
Kujumpai wajah bulat sendu menjelma dibalik pintu kamar kosku. Suara gadis itu bergetar ketika menyampaikan keinginannya. Memohon bantuanku.
Mengantarnya ke bandara demi menemui ayah yang sedang sakit.

Hatiku tak kuasa menolak, badanku memberontak. Aku sangat lelah, tak hanya fisik. Berminggu-minggu aku terbebani kejenuhan yang amat sangat, pengabaian idealisme demi sepotong tanggungjawab moral yang kurasa mulai setengah hati kugenggam.
Aku hanya mau bergerak sesuai keinginanku dulu. Aku sedang tak mau diganggu. Aku sedang sangat egois, melankolis, dan individualis.
Aku enggan meninggalkan kamar, memberi beberapa alasan. Namun hatiku rapuh, karena dalam hitungan kata kemudian aku berkata bersedia membantunya. Aku juga tak ingin mementingkan diri sendiri. Aku naif. Atau munafik? Beda tipis.

Aku mengiyakan dan menutup pintu kamar. Kembali merebah, menyusuri sisa-sisa mimpi. Tak sampai sepuluh menit, kudengar raungan memilukan dari lantai bawah kamarku.
Kupikir itu tawa. Awalnya.
Namun, aku bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi. Kami tak jadi ke bandara.
Ayahnya meninggal dunia.

Ya Tuhan, aku tak berdoa tentang ini.
Aku tak berharap yang terburuk sehingga membatalkan kepergian kami ke bandara. Tapi benarkah alam menangkap energiku? Mungkin. Karena setengah keinginanku dikabulkan. Tuhan mungkin memudahkan masalahku. Aku bisa saja bersyukur..namun dengan pahit. Aku merasa marah dengan diri sendiri.
Aku dalam ironi perasaanku sendiri.
Rasa syukur ini kotor...didalamnya memuat kedukaan seseorang. Atau memang begitukah cara Tuhan menuntun kita belajar? Memberi pertanda untuk membuat kita lebih bijak. Mengajar kita untuk ikhlas.
Aku seperti diberi pelajaran dengan halus, tapi sangat menikam. Mungkin aku dihukum melalui kisah orang lain.
Mungkin aku mulai diminta peka untuk membaca ’pertanda’, tentang hidup dan jalan yang harus kutapaki mulai saat ini.
Jika benar, aku bersyukur...

..karena hidup ini pinjaman.


Pattrasani
Kota bukit – Senin, 16 Mei 2011 – 21:24

Cerita Kami yang Tertunda


Sesungguhnya kami hanyalah segerombolan orang bodoh.

Atau mungkin juga sekumpulan kerbau dalam kubangan, bersenang-senang dan menikmati tatapan penuh kekaguman lalat-lalat bermata lebar.
Seakan kami ini matahari dalam galaksi Bima Sakti.


Setiap pagi kulewati jalan layang yang melintang ditengah kota. Bagiku jalan itu lebih mirip jalan yang melengkung karena memuai, seperti sol sepatu yang terlalu sering terpanggang matahari dan tersiram hujan. Tapi melewati jalan itu dengan motor membuatku serasa terbang, menikmati desiran halus di jantungku ketika angin menggelitik bulu-bulu halus kulit tubuhku yang terbuka.
Menjelang lengkungan jalan layang, aku menanti langit yang sekonyong-konyong muncul dari balik lengkung. Dan desiran pelan itu mulai berubah menjadi dentuman berirama cepat seakan dibalik lengkungan hanya terdapat kekosongan, tak bertepi, seperti bayangan ujung dunia di masa lalu. Uh, aku rindu!
Setiap kendaraan yang lewat seakan diburu waktu mengejar jeda sementara matahari bergulir perlahan ke barat. Begitu terus setiap hari. Selongsong kehidupan dieksploitasi dengan rakus.
Meluncur, dan meluncur lagi. Kubiarkan tangan kananku merenggang menggenggam gas tangan. Kuikatkan energiku disitu. Setiap mesin memiliki kehidupan sendiri. Memiliki hak atas perubahan yang serupa dengan kehidupan makhluk hidup. Dirakit, berfungsi, berkarat dan hancur.
Karena itu aku cinta setiap kehidupan.

Seperti kehidupan enam kerbau berpolah didepanku saat ini. Sungguh mati aku cinta mereka! Dan aku melengkapi mereka menjadi tujuh.

Sesungguhnya kami ini hanyalah segerombolan orang bodoh, tepatnya tujuh kerbau bodoh dalam kandang sempit di padang rumput yang luas. Kusebut bodoh, karena diluar kandang, rumput hijau segar menggeliat menggoda dan kami lebih memilih mengunyah rumput lunglai berlumpur dibawah kaki kami, berebutan. Dan tak satupun berpikir akan menerjang pembatas kandang seperti Kartini melahirkan emansipasi wanita di negeri kita.
Kami sungguh-sungguh bodoh atau terlalu sabar menerima apa yang ada? Beda tipis yang tak mengundang simpati. Kecuali, lalat-lalat yang menatap dengan penuh kekaguman. Itu cerita nanti.

*******

Kami sedang berdiri di tepi pantai. Pantai selatan pulau Jawa. Pantai selatan yang kata orang dikuasai sesosok ratu luar biasa cantik dan sakti. Pantai selatan dengan misteri tak terjamah dan panorama erotis yang impresif.
Sudah satu jam sejak kami tiba disana. Beberapa kapal teronggok tak berdaya, berselimut jala ikan dan pelampung oranye pemiliknya, para nelayan yang sedang menyeruput teh manis hangat dalam keremangan warung bambu renta. Gubuk yang berjajar rapat menantang angin laut.
            Sejenak aku menatap matahari dalam ketenggelamannya seakan seniman yang berusaha meraba keindahan. Namun, bahkan keindahan pun aku tak tahu. Mungkin aku tak berbakat menjadi seniman. Yang kupikirkan, mengapa matahari terlihat membesar di ujung malam tapi kehilangan sinarnya yang menyilaukan? Seperti setiap manusia mulai merasakan arti hidupnya di ujung usia. Yang kita miliki tinggal raga, tubuh tanpa rona hidup. Kepompong tanpa isi.
            Limas melintas didepanku. Berlari dan tertawa lepas yang ia tawarkan dengan sederhana. Alin si gadis mungil berlari mengejarnya, berusaha mencambukkan scarf pink-nya. Tertawa juga. Hmm, romantisme dekade 80-an.
            “Mas! Berikan kameranya! Hapus yang barusan! Jelek, tau!” jerit Alin. Tapi tawanya memperlambat larinya. Seperti kebahagiaan memperlambat rasa akan kematian.
            Kulemparkan pasir pada mereka berdua. Kutunjukkan bahwa mereka telah menarik perhatianku, juga sedikit rasa iri. Dan aku kembali menapakkan jejak-jejak dalam pasir. Menuju matahari. Didepanku, dua anak manusia menyisir pantai dengan cengkerama yang terlihat membahagiakan keduanya. Trisno dan Nanjani.
            Trisno dan Nanjani.
            Butuh waktu untuk memikirkan hubungan mereka berdua. Dan aku tak perlu bersusah-susah, karena pastinya aku tak ada diantara mereka. Jadi, kuanggap saja hubungan itu cinta. Ya, cinta atau asmara! Itu saja. 
            Namun, tak ada cinta asmara diantara Satya dan Dinasty. Bukan saja karena mereka sama-sama lelaki, tapi karena mereka tak tergiur menganut paham hubungan sesama jenis. Kedekatan mereka seperti hubungan dua kutub magnet yang berlawanan. Satya adalah seniman murni. Hidupnya beraliran putih dalam pengertian umum, dekat dengan sang Pencipta. Dinasty adalah seorang rocker sejati beraliran blackmetal. Melihatnya seperti melihat malam tanpa bintang, kelam. Menatap matanya seperti menatap lubang kegelapan, dalam dan terasa dekat dengan maut. Penganut ekstrimitas yang tanpa nalar.
            Dua kutub magnet itu duduk di gundukan pasir tinggi, namun berbicara rendah tersamarkan bisikan angin laut. Mungkin membicarakan dunia hitam-putih mereka. Aku tak tahu.
            Aku adalah angka ganjil pada ujung jumlah ganjil. Satu-satunya yang tak berpasangan. Seperti sosok Bima yang berjalan sendirian diakhir barisan Pandawa, menatap saudara-saudaranya saling berpasangan.
            Dan namaku Lintangsani.


*******
Sewon - Jum’at, 13 Februari 2009

Jumat, 14 Oktober 2011

Lukisan kebun dan pohon

Lukisan ini dibuat dengan media cat air-teknik goresan cat minyak: tahun 2003
Ternyata ga jauh beda dengan lukisan yang kubuat tahun 2011, media cat akrilik.
Parah banget, ternyata tenggang 8 taon ga ada peningkatan potensi niy...:(
*(keluh).. merasa dikalahkan oleh penyakit: kemalasan dan keengganan (betul juga kata pak Robert)*

Lukisan 2011 gambar dedaunannya kacau..tumpukin terus malah detailnya habis...wah, galau ni.. akhirnya cuma 80 persen jadi..ga lanjut karena (lagi-lagi) MALES! terlanjur berantakan, mood udah abis, dibayar pake begadang lagi! :(


TADAAAA....this is it! :)

Add caption

JENUH 2 - hidup adalah perjalanan


Hidup adalah perjalanan…
Dan hidup adalah goresan tinta hitam diatas kertas
yang warnanya memudar dari hari ke hari… segores demi segores…
..digoreskan setiap kita menapak

Perjalanan selalu dimulai dengan langkah kaki,
dan mata yang memandang ke sudut mana pandangan itu diarahkan
satu tempat
satu ruang
satu kondisi
..dalam suatu waktu

mimpi ‘lah kompas, pemandu arah hidup
tak perlu membawa apapun
karena bekal yang sesungguhnya adalah pikiran dan mata hati
cukup menggenggam apa yang menjadi nafasmu
dan kuatkan kakimu
karena kita akan melangkah jauh

bukan mimpi yang dikejar,
karena mimpi berjalan beriringan dengan setiap kaki menapak

hiduplah yang harus dikejar


Pattrasani, 22 Desember 2008




Dimana kau temukan keluhuran jiwa dalam kepakan terbang sayapmu..

gambar pertama yang kubuat pada umur 17, saat jadi pengangguran dan mimpi-mimpi begitu liar..:D