Merayakan Hari
- membakar pohon belimbing -
Jika di negeri Barat, saat ini aku mungkin tengah bermain salju. Tapi kenyataannya, saat ini – di negeri Tenggara – aku sedang memelototi gambar geometris yang disebut orang dengan nama keping salju (snowflake). Gambar ini ada di sebuah kartu ucapan perayaan suatu hari yang bermakna istimewa bagi satu kepentingan sebentuk umat.
Merah dan hijau. Dua warna itu simbol identitas hari istimewa ini.
Natal. Hari Kelahiran.
Temanku lahir hari itu juga, 26 tahun yang lalu. Tapi ia tidak identik dengan warna khusus. Setahuku ia suka warna biru. Ah, ternyata waktu yang terentang panjang dalam pertemanan kami tak membuatku mengingat dengan pasti warna favoritnya. Yang jelas, ia suka banyak warna ceria yang sering tergurat dalam karya-karyanya.
Namanya juga mengandung kata Natal, namun ia tak merayakannya dalam spiritualisme. Ia merayakan hari dengan simbol identitas warna hijau saja. Lebaran (hari saat semuanya ’lebar’ alias usai, usai diartikan ’menang’).
Nama temanku ini justru menunjukkan identitas akan sebuah momentum saat ia dilahirkan. Ini mengingatkan betapa momentum Natal itu dihargai secara universal. Orangtua temanku menghargainya dengan merekamnya pada nama buah hati mungilnya. Tak terkait dengan keyakinan yang dianut. Ini adalah apresiasi terhadap peristiwa. Peristiwa yang bermakna.
Entah sejak kapan orang mulai menyematkan identitas melalui warna. Seperti halnya Natal dengan cemara, salju, keping salju, mistletoe, hijau dan merah. Seperti juga Lebaran dengan ketupat plus opor ayamnya, dan hijau. Warna kemudian berasosiasi pada simbol makna. Padahal banyak bidang ilmu yang merepresentasikan warna yang sama dengan makna berbeda. Orang psikologi mengatakan warna merah gerai KFC dibuat supaya orang tidak betah duduk lama-lama di tempat itu. Sementara desainer interior mengatakan warna merah justru akan membuat orang merasakan nikmatnya makanan, menikmati suasana interior yang ’lezat’. Terjadi dua kepentingan.
Kepentingan budaya dan geografis juga yang menciptakan simbol-simbol Natal itu.
Mengapa kita harus pasang cemara padahal kita sudah punya pohon beringin, atau pohon pisang, pepaya, ketela, atau pohon petai?
Waktu aku kecil, saking kepinginnya bikin pohon Natal, aku melemparkan beberapa kembang api yang sudah menyala ke puncak pohon belimbingku yang tingginya empat meter lebih. Kuulangi hal yang sama di pohon talok kakekku. Setiap kali kait kembang api nyangkut di ranting, sepupu-sepupuku bersorak girang. Aku semakin berpuas diri dan melempar lagi..lagi.. dan lagi. Hingga pohon itu cemerlang dengan pendar api yang menghanguskan satu-dua daunnya. Aku senang sekali walaupun setelahnya dimarahi karena mungkin aku dianggap akan membakar pohon itu. Yang penting ’kan konsep pohonnya ’terang’..hehe begitu menurutku.
Dan, kenapa harus pakai keping salju kalau kita hanya memiliki butiran air musim penghujan?
Lagi-lagi kiblat budaya yang membuat kita mengidentifikasi sesuatu, dijadikan hegemoni bertahun-tahun. Menyamarupakan ’kemasan’, sementara citarasa kita berbeda. Padahal, dimanapun dan dalam kemasan atau citarasa apapun ’hari’ itu dirayakan, maknanya tidak akan berubah.
Tapi, yah.. banyak orang menyukai kemasan daripada isinya. Kita tak bisa menghalangi kesenangan banyak orang, bukan?! Tidak semua orang menyukai perubahan :)
Ironisnya, dalam periode budaya yang nge-pop ini, banyak pemikiran radikal muncul ke permukaan. Banyak pendapat dan bahkan kiblat keyakinan berkembang. Banyak eksperimentasi ide yang tanpa batasan. Banyak hegemoni diluluhlantakkan.
Banyak hal menjadi relatif pada akhirnya. Yang kemudian memicu konflik karena tak sepaham.
Bagiku, apapun mungkin, sehingga tak perlu diperdebatkan ke’pasti’annya, tinggal ikuti saja fokus kita.. maka dunia akan terasa nyaman ditinggali :)
Tak begitu peduli dengan dua warna itu, akhirnya aku memilih menyukai kartu dengan background warna biru dan keping salju perak yang mirip dengan ukiran masa rokoko di Perancis. Untuk dipandangi saja. Cantik.. memandanginya menerbitkan rasa bahagia.
Karena itu, aku suka hari-hari semacam ini. Karena ada sesuatu yang dirayakan dan ada ’semangat’ yang memenuhi atmosfer tempat-tempat tertentu. Banyak orang menjadi sumringah, banyak kebaikan hati, banyak kegembiraan, walaupun banyak juga yang kemudian ’memanfaatkan’ royalnya kegembiraan itu. Biasa, pedagang.
Walaupun aku tak merayakan hari ini, tapi aku ikut merayakan kegembiraannya. Ikut antusias berbelanja, ikut mengagumi pernak-perniknya, ikut bernyanyi-nyanyi, ikut tertawa, ikut tertular semangatnya. Sama seperti ketika Lebaran, tertular nuansa spiritualnya.
Mungkin, untuk itu Tuhan menciptakan keberagaman dan kebersamaan.
Entah itu merah atau hijau, mungkin Tuhan lebih menyukai kita bahagia bersama.
Pattrasani
Jogja, 26 Desember 2011 – 05:15
(begadang karena sakit gigi, dan karena tidur siang dua kali :D )