Minggu, 20 November 2011

Kota Bukit


Kota Bukit



Aku tinggal di kota bukit yang indah..
Dimana matahari pagi membagikan cahaya pertamanya, seperti lapisan-lapisan kilau sutera di setiap lekuk bukit kota ini.
Kata orang, kota ini tak bersemangat, tak ingin memperjuangkan kebaruan, tak berhasrat pada perubahan, tak ada cita rasa..
Tapi disini pulalah kusadari bahwa aku masuk dalam atmosfer natural, batas ambang antara modern dan tradisi, antara pergerakan dan perdiaman.
Tak banyak pergerakan, tak juga diam.
Aneh, apakah aku merasa karakterku berada dalam definisi yang sama dengan kota ini? Relevan?
Disinilah kutemukan kontras diriku, penutupan ambisiku, peredaman hasratku yang meluap, keliaran imajinasiku yang semakin terkontrol sekaligus tertekan.
Aku dinetralkan.
Tak ada keluarga, tanpa sahabat untuk berbagi kenangan, aku seakan diajak untuk menuliskan kisahku yang baru, pada tiap lembaran kosongnya.
Aku mulai menemukan persinggungan, untuk apa aku berada disini, untuk apa aku diperkenalkan dengan detak hidup kota ini.
Pertemuan dengan kota ini membawaku pada mimpi masa lalu, yang baru kusadari kutemukan dalam rahasia kota ini.
Tentang hidup, nuansa, kebebasan, kesendirian, tantangan, harapan, segala hal yang di masa lalu menjadi imajinasi diluar sadar.
Mungkin aku bisa mencintai kota ini...


Pattrasani
Kota bukit – Minggu, 7 Agustus 2011 – 01:01

Tentang kotak kecil tidurku di Roma


Kamar No. 26


01:15 am
Semarang-Kota Bukit, 13 Desember 2009


Jendelanya besar.
Dua jendela besar-besar, memungkinkan cahaya matahari menerangi dalam kamarku. Tapi, aku tak dapat memandang langit.

Jika kubuka tirai selebarnya dan kubuka pintu disampingnya, kurasakan angin dan cahaya. Seluruhnya, tapi tidak seutuhnya.
Aku bisa melihat pepohonan, ujung daunnya melambai dibalik jendela, tapi tak kurasakan segarnya.
Nyaman…, kamar kos ini benar-benar nyaman.
Tapi, seakan dipaksakan. Dibuat nyaman untuk ditinggali.. secara fisik, dalam sistem.
Dan aku tetap tak dapat memandang langit.

Aku senang.
Disini aku mendengar begitu banyak suara. Seakan tertemani.
Suara pagi, kelontangan peralatan dapur menghidupkan pagi, membangunkan matahari.
Celoteh riang gadis-gadis belia, obrolan lirih ketika rona hidup surut sesaat… betapa berwarnanya hidup mereka!
Ceburan air bak mandi, seakan rutinitas hidup ikut mengalir berkecipak bersamanya.
Juga musik.
Betapa musik mengiringi nada kisah setiap kehidupan, keseharian.
Dan, suara televisi di malam hari.
Ketika kesunyian ditandingkan…dengan hingar bingar gonggongan politik, rintihan ekonomi dan ratapan bencana alam, emosi hiperbolis film layar lebar yang direlokasi kedalam layar sempit.

Tapi, aku tetap tak dapat memandang langit.
Yang mendung…
Biru cerah…
Berawan…
Atau gelap berbintang…
Keluasan langit yang membuatku merasa hidup sebagai bagian sangat kecil keagungan ciptaan maha besar.

Dan aku kesepian.

Bukan karena tak ada teman, bukan karena tanpa suara, bukan karena tak merasa nyaman.
Karena pikiranku tidak merdeka.
Karena merasa jiwaku tidak pada tempatnya.
Karena inspirasi enggan mengunjungiku seperti biasa.
Dan aku bertanya-tanya: kenapa?

Mungkin…
Karena aku tak dapat memandang langit.

Kamar ini terlalu nyaman dengan fasilitas yang tersedia. Sehingga, aku tak merasa perlu bergerak.
Aku seperti tamu yang sekedar singgah sesaat, menginap.
Tak perlu menata kamar.
Tak perlu membeli barang-barang.
Karena aku tak merasakan ini “rumah”, yang membuatku bertahan untuk tinggal.
Aku merasa terikat untuk menerima apa adanya, pelayanan istimewa, yang membuatku merasa tak memiliki kewajiban untuk merawatnya, membentuknya menjadi seperti keinginanku. Mengasihinya seperti milikku, seperti rumahku.

Aku jadi terlalu manja.
Kenyamanan ini membuatku malas berjuang. Tak ada gejolak yang membuatku bersemangat mengejar ‘hidup’.
Padahal hidup begitu ‘menggoda’, begitu indah untuk diperjuangkan.

Aku akan mencari lagi… sebuah kamar sebagai ‘rumahku’, sebagai sahabat dimana dengannya kubebaskan pikiranku. Sebagai peraduan tempat melepas penatku, …di kota dimana energiku kucurahkan.
Aku akan pindah.
Ke tempat dimana aku dapat memandang langit.
Langit yang tinggi…, yang dengannya pikiranku takkan sepi.




Dua Hari Lagi


07:59 am
Semarang-Kota Bukit, 14 Desember 2009


Aku jatuh cinta pada tempat ini hanya dua hari sebelum kepindahanku.

Mungkin benar, bahwa cinta seringkali muncul disaat-saat tak terduga, saat-saat terakhir. Kesadaran yang terlambat menjelang perpisahan.
Kita butuh memastikan diri atau “menampar” diri sendiri bahwa perasaan itu telah datang. Dan, melihat baik-baik apa yang tersembunyi di relung hati.

Aku terjaga dengan perasaan tidak tenang.
Setelah berguling kesana-kemari, mengingkari kedatangan pagi, aku menyerah.
Kusingkap tirai, membuka semua jendela dan pintu lebar-lebar. Aroma pagi membekapku seketika, merasuk melalui pori-pori kulitku, menjelajahi setiap pembuluh darahku. Hanya untuk menyampaikan pesan kesejukan pada otakku yang masih tertidur.
Lampu-lampu putih di selasar masih menyala.
Sepetak langit mengintip dari celah kubah, langit-langit ruang terbuka antar selasar. Masih gelap. Langit muram dan sendu.

Kuambil air wudhu, menyapu lantai kamar – yang bukan kebiasaankuJ – , menghamparkan handuk mungil alas kepala, dan sembahyang.
Langit masih enggan melepaskan matahari dari peraduannya. Saat itu, perasaanku antara rindu dan gamang, walaupun tak tahu pasti apa yang kurindukan. Karena kerinduan biasanya merentangkan masa lalu. Dan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu tampaknya tak berhubungan dengan redup pagi ini, pagiku.

Dan kudapati diriku telah duduk menongkrong diatas tangga besi loteng terbuka lantai tiga. Lebih tepat disebut loteng jemuran, karena kawat-kawat besi dan tali berseliweran merintangi jalan. Tak tahu apa yang ingin kulakukan.
Tapi, aku dapat memandang langit disini, membentang diatas kepalaku.

Langit meremang.
Beberapa larik semburat kemerahan merebak di langit timur, berhiaskan awan kelabu.
Dimana bukit-bukit berdiri pongah, dan bertonggak-tonggak menara logam terpancang angkuh. Seolah merekalah penguasa-penguasa manusia. Mandor-mandor besi.
Kabut keputihan menyelimuti pemandangan jauh.
Mengaburkan warna, serupa lukisan ‘baru’ tersapu air. Lukisan rumah-rumah yang saling merapat menghangatkan, dilatarbelakangi pegunungan dan bukit-bukit jauh.
Sebuah kota yang memiliki kisahnya sendiri.

Walaupun masih tersisa remang pelita dari malam, keheningan pagi ini terasa menyesakkan.
Dan aku tahu aku telah jatuh cinta.

Seperti tertarik pada akhir kisah sebelum menutup buku. Kekecewaan ketika kisah itu berakhir. Kemudian segera memutuskan, buku itulah yang terbaik untuk dimiliki. Walaupun, perasaan itu surut perlahan seiring berjalannya hari. Lalu, kita menemukan buku lain untuk dicintai lagi.
Selalu begitu.

Hari-hari penuh kebimbangan berlalu sudah. Saat-saat membuat keputusan seakan telah dilalui dengan kerja keras. Dan, seringkali seperti ini, pada akhir sebuah pertanyaan.
Jawaban yang sesungguhnya datang pada saat-saat terakhir, secara tak terduga.
Saat kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan, dengan pertimbangan pikiran, bukan dengan hati.
Namun, jawaban yang kemudian muncul berupa ‘rasa’.
Yang paling berat bagiku adalah, ketika rasa cinta ini ditangguhkan. Seperti musim semi yang ditunda setelah musim dingin berkepanjangan.
Karena, aku mencoba menghargai proses berpikirku, pertimbangan yang berdasar logika, dan kecenderungan untuk menghindari sikap plin-plan.
Sehingga ‘rasa’ kadang terabaikan.
Sedikit sikap untuk menerima bahwa hidup ini dipenuhi dengan pilihan.
Dan pilihan akan menghadirkan konsekuensi di masa depan.

Aku cinta tempat ini.
Saat pagi sejuk…
Duduk dibalik jendela terbuka lebar, ditemani segelas kopi hangat dan sebotol air mineral…menuliskan buah pikiran.
Saat siang teduh…
Dengan buku di tangan, menelanjangi kisah-kisah.
Saat malam sunyi…
Dengan lembar-lembar kerjaan dan musik rapat di telinga.

Aku cinta tempat ini.
Dan itu takkan berubah. Sekalipun berada di tempat yang jauh.
Sebuah kenangan tidak memiliki kuasa berubah.
Betapa kenangan itu bertahan, dan kita akan mendapati diri kita tak akan pernah tua bersamanya.

Aku cinta tempat ini.
Mungkin, karena cinta tidak hadir begitu saja, dan tidak butuh alasan.
Dua hari lagi…
Sebelum aku pergi dari sini.

*******

sepenggal paragraf kabur makna



Sampai detik ini aku masih terpaku..di kursiku…

Kalian..anak-anak..tahukah tentang apa yang dikatakan orang untuk dilakukan?
Mengertikah kalian tentang perjuangan atas nama kehidupan yang lebih baik, politik dengan dalih kesejahteraan manusia?
Sanggupkah kalian merasakan apa yang tak boleh terkatakan ketika batas yang bernama kedewasaan itu mulai disematkan?

Tidak ada!
Tidak ada yang boleh kalian mengerti…
Karena hidup itu kejam, hidup itu penuh muslihat
Angkatlah tangan kalian,
Tutupi mata,
Tutupi telinga,
Tumpulkan indera perasa..
Karena kalian tidak punya kewajiban..
..untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi..

Hidupkan hati..
Yang akan membawa tangan-tangan kecilmu melambai..
Mengajak kaki-kaki kecilmu berlari..
Berlari..
Berlari...
Menerbangkan imajinasi tak bertuan

Bahagialah..

Bahkan ketika kami masih duduk terdiam di kursi kami..


Semarang, 29 November 2010 – 23:47
Pattrasani

hidup ini pinjaman


Hidup ini pinjaman..


Kadang, saat merasa bosan, tidak puas terhadap kehidupan, kita begitu ingin mengembalikannya.
Namun, mungkin kita telah dibekali kerangka paragraf untuk merangkai plot cerita kehidupan milik kita sendiri. Kadang kita mengabaikan kerangka itu karena tak pernah sabar dengan klimaks kisah kita.
Hidup itu seringkali serupa barang yang kita sukai, tak ingin melepas walaupun barang itu telah koyak..merasa barang itu yang terbaik milik kita, padahal kita punya banyak barang yang serupa. Masalahnya, cinta dan barang itu berusia sama. Tak rela, bahkan ketika orang pemberi barang itu yang memintanya kembali.
Kemudian kita akan menyesali waktu-waktu yang pernah lekat bersamanya.

Nyawa adalah pertaruhan
Ukuran untuk mengerjakan suatu perbuatan. Kita mengumpulkan poin-poin untuk saling dipertukarkan pada saatnya. Poin angka lebih dan angka kurang. Yang lebih akan menutupi yang kurang. Keseimbangan.
Kesenangan mungkin adalah angka kurang.
Penderitaan bisa jadi angka lebih.
Kembali pada pilihan. Walaupun secara naif kita berusaha mengerti yang sebaiknya. Tinggal tunggu akhirnya saja.
C’est la vie.. itulah hidup. Tak terduga.


Kemarin pagi..
Aku terjaga dengan suara ketukan di pintu. Mataku masih berat. Bayang-bayang sinar mentari pagi yang tak sanggup menembus korden membuatku merasa masih bermimpi.
Ternyata pintu terketuk lagi, lebih keras.
Kujumpai wajah bulat sendu menjelma dibalik pintu kamar kosku. Suara gadis itu bergetar ketika menyampaikan keinginannya. Memohon bantuanku.
Mengantarnya ke bandara demi menemui ayah yang sedang sakit.

Hatiku tak kuasa menolak, badanku memberontak. Aku sangat lelah, tak hanya fisik. Berminggu-minggu aku terbebani kejenuhan yang amat sangat, pengabaian idealisme demi sepotong tanggungjawab moral yang kurasa mulai setengah hati kugenggam.
Aku hanya mau bergerak sesuai keinginanku dulu. Aku sedang tak mau diganggu. Aku sedang sangat egois, melankolis, dan individualis.
Aku enggan meninggalkan kamar, memberi beberapa alasan. Namun hatiku rapuh, karena dalam hitungan kata kemudian aku berkata bersedia membantunya. Aku juga tak ingin mementingkan diri sendiri. Aku naif. Atau munafik? Beda tipis.

Aku mengiyakan dan menutup pintu kamar. Kembali merebah, menyusuri sisa-sisa mimpi. Tak sampai sepuluh menit, kudengar raungan memilukan dari lantai bawah kamarku.
Kupikir itu tawa. Awalnya.
Namun, aku bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi. Kami tak jadi ke bandara.
Ayahnya meninggal dunia.

Ya Tuhan, aku tak berdoa tentang ini.
Aku tak berharap yang terburuk sehingga membatalkan kepergian kami ke bandara. Tapi benarkah alam menangkap energiku? Mungkin. Karena setengah keinginanku dikabulkan. Tuhan mungkin memudahkan masalahku. Aku bisa saja bersyukur..namun dengan pahit. Aku merasa marah dengan diri sendiri.
Aku dalam ironi perasaanku sendiri.
Rasa syukur ini kotor...didalamnya memuat kedukaan seseorang. Atau memang begitukah cara Tuhan menuntun kita belajar? Memberi pertanda untuk membuat kita lebih bijak. Mengajar kita untuk ikhlas.
Aku seperti diberi pelajaran dengan halus, tapi sangat menikam. Mungkin aku dihukum melalui kisah orang lain.
Mungkin aku mulai diminta peka untuk membaca ’pertanda’, tentang hidup dan jalan yang harus kutapaki mulai saat ini.
Jika benar, aku bersyukur...

..karena hidup ini pinjaman.


Pattrasani
Kota bukit – Senin, 16 Mei 2011 – 21:24

Cerita Kami yang Tertunda


Sesungguhnya kami hanyalah segerombolan orang bodoh.

Atau mungkin juga sekumpulan kerbau dalam kubangan, bersenang-senang dan menikmati tatapan penuh kekaguman lalat-lalat bermata lebar.
Seakan kami ini matahari dalam galaksi Bima Sakti.


Setiap pagi kulewati jalan layang yang melintang ditengah kota. Bagiku jalan itu lebih mirip jalan yang melengkung karena memuai, seperti sol sepatu yang terlalu sering terpanggang matahari dan tersiram hujan. Tapi melewati jalan itu dengan motor membuatku serasa terbang, menikmati desiran halus di jantungku ketika angin menggelitik bulu-bulu halus kulit tubuhku yang terbuka.
Menjelang lengkungan jalan layang, aku menanti langit yang sekonyong-konyong muncul dari balik lengkung. Dan desiran pelan itu mulai berubah menjadi dentuman berirama cepat seakan dibalik lengkungan hanya terdapat kekosongan, tak bertepi, seperti bayangan ujung dunia di masa lalu. Uh, aku rindu!
Setiap kendaraan yang lewat seakan diburu waktu mengejar jeda sementara matahari bergulir perlahan ke barat. Begitu terus setiap hari. Selongsong kehidupan dieksploitasi dengan rakus.
Meluncur, dan meluncur lagi. Kubiarkan tangan kananku merenggang menggenggam gas tangan. Kuikatkan energiku disitu. Setiap mesin memiliki kehidupan sendiri. Memiliki hak atas perubahan yang serupa dengan kehidupan makhluk hidup. Dirakit, berfungsi, berkarat dan hancur.
Karena itu aku cinta setiap kehidupan.

Seperti kehidupan enam kerbau berpolah didepanku saat ini. Sungguh mati aku cinta mereka! Dan aku melengkapi mereka menjadi tujuh.

Sesungguhnya kami ini hanyalah segerombolan orang bodoh, tepatnya tujuh kerbau bodoh dalam kandang sempit di padang rumput yang luas. Kusebut bodoh, karena diluar kandang, rumput hijau segar menggeliat menggoda dan kami lebih memilih mengunyah rumput lunglai berlumpur dibawah kaki kami, berebutan. Dan tak satupun berpikir akan menerjang pembatas kandang seperti Kartini melahirkan emansipasi wanita di negeri kita.
Kami sungguh-sungguh bodoh atau terlalu sabar menerima apa yang ada? Beda tipis yang tak mengundang simpati. Kecuali, lalat-lalat yang menatap dengan penuh kekaguman. Itu cerita nanti.

*******

Kami sedang berdiri di tepi pantai. Pantai selatan pulau Jawa. Pantai selatan yang kata orang dikuasai sesosok ratu luar biasa cantik dan sakti. Pantai selatan dengan misteri tak terjamah dan panorama erotis yang impresif.
Sudah satu jam sejak kami tiba disana. Beberapa kapal teronggok tak berdaya, berselimut jala ikan dan pelampung oranye pemiliknya, para nelayan yang sedang menyeruput teh manis hangat dalam keremangan warung bambu renta. Gubuk yang berjajar rapat menantang angin laut.
            Sejenak aku menatap matahari dalam ketenggelamannya seakan seniman yang berusaha meraba keindahan. Namun, bahkan keindahan pun aku tak tahu. Mungkin aku tak berbakat menjadi seniman. Yang kupikirkan, mengapa matahari terlihat membesar di ujung malam tapi kehilangan sinarnya yang menyilaukan? Seperti setiap manusia mulai merasakan arti hidupnya di ujung usia. Yang kita miliki tinggal raga, tubuh tanpa rona hidup. Kepompong tanpa isi.
            Limas melintas didepanku. Berlari dan tertawa lepas yang ia tawarkan dengan sederhana. Alin si gadis mungil berlari mengejarnya, berusaha mencambukkan scarf pink-nya. Tertawa juga. Hmm, romantisme dekade 80-an.
            “Mas! Berikan kameranya! Hapus yang barusan! Jelek, tau!” jerit Alin. Tapi tawanya memperlambat larinya. Seperti kebahagiaan memperlambat rasa akan kematian.
            Kulemparkan pasir pada mereka berdua. Kutunjukkan bahwa mereka telah menarik perhatianku, juga sedikit rasa iri. Dan aku kembali menapakkan jejak-jejak dalam pasir. Menuju matahari. Didepanku, dua anak manusia menyisir pantai dengan cengkerama yang terlihat membahagiakan keduanya. Trisno dan Nanjani.
            Trisno dan Nanjani.
            Butuh waktu untuk memikirkan hubungan mereka berdua. Dan aku tak perlu bersusah-susah, karena pastinya aku tak ada diantara mereka. Jadi, kuanggap saja hubungan itu cinta. Ya, cinta atau asmara! Itu saja. 
            Namun, tak ada cinta asmara diantara Satya dan Dinasty. Bukan saja karena mereka sama-sama lelaki, tapi karena mereka tak tergiur menganut paham hubungan sesama jenis. Kedekatan mereka seperti hubungan dua kutub magnet yang berlawanan. Satya adalah seniman murni. Hidupnya beraliran putih dalam pengertian umum, dekat dengan sang Pencipta. Dinasty adalah seorang rocker sejati beraliran blackmetal. Melihatnya seperti melihat malam tanpa bintang, kelam. Menatap matanya seperti menatap lubang kegelapan, dalam dan terasa dekat dengan maut. Penganut ekstrimitas yang tanpa nalar.
            Dua kutub magnet itu duduk di gundukan pasir tinggi, namun berbicara rendah tersamarkan bisikan angin laut. Mungkin membicarakan dunia hitam-putih mereka. Aku tak tahu.
            Aku adalah angka ganjil pada ujung jumlah ganjil. Satu-satunya yang tak berpasangan. Seperti sosok Bima yang berjalan sendirian diakhir barisan Pandawa, menatap saudara-saudaranya saling berpasangan.
            Dan namaku Lintangsani.


*******
Sewon - Jum’at, 13 Februari 2009