Kamis, 29 Desember 2011

merayakan hari

Merayakan Hari
- membakar pohon belimbing -

 








Jika di negeri Barat, saat ini aku mungkin tengah bermain salju. Tapi kenyataannya, saat ini – di negeri Tenggara – aku sedang memelototi gambar geometris yang disebut orang dengan nama keping salju (snowflake). Gambar ini ada di sebuah kartu ucapan perayaan suatu hari yang bermakna istimewa bagi satu kepentingan sebentuk umat.
Merah dan hijau. Dua warna itu simbol identitas hari istimewa ini.
Natal. Hari Kelahiran.
Temanku lahir hari itu juga, 26 tahun yang lalu. Tapi ia tidak identik dengan warna khusus. Setahuku ia suka warna biru. Ah, ternyata waktu yang terentang panjang dalam pertemanan kami tak membuatku mengingat dengan pasti warna favoritnya. Yang jelas, ia suka banyak warna ceria yang sering tergurat dalam karya-karyanya.
Namanya juga mengandung kata Natal, namun ia tak merayakannya dalam spiritualisme. Ia merayakan hari dengan simbol identitas warna hijau saja. Lebaran (hari saat semuanya ’lebar’ alias usai, usai diartikan ’menang’).
Nama temanku ini justru menunjukkan identitas akan sebuah momentum saat ia dilahirkan. Ini mengingatkan betapa momentum Natal itu dihargai secara universal. Orangtua temanku menghargainya dengan merekamnya pada nama buah hati mungilnya. Tak terkait dengan keyakinan yang dianut. Ini adalah apresiasi terhadap peristiwa. Peristiwa yang bermakna.

Entah sejak kapan orang mulai menyematkan identitas melalui warna. Seperti halnya Natal dengan cemara, salju, keping salju, mistletoe, hijau dan merah. Seperti juga Lebaran dengan ketupat plus opor ayamnya, dan hijau. Warna kemudian berasosiasi pada simbol makna. Padahal banyak bidang ilmu yang merepresentasikan warna yang sama dengan makna berbeda. Orang psikologi mengatakan warna merah gerai KFC dibuat supaya orang tidak betah duduk lama-lama di tempat itu. Sementara desainer interior mengatakan warna merah justru akan membuat orang merasakan nikmatnya makanan, menikmati suasana interior yang ’lezat’. Terjadi dua kepentingan.

Kepentingan budaya dan geografis juga yang menciptakan simbol-simbol Natal itu.
Mengapa kita harus pasang cemara padahal kita sudah punya pohon beringin, atau pohon pisang, pepaya, ketela, atau pohon petai?
Waktu aku kecil, saking kepinginnya bikin pohon Natal, aku melemparkan beberapa kembang api yang sudah menyala ke puncak pohon belimbingku yang tingginya empat meter lebih. Kuulangi hal yang sama di pohon talok kakekku. Setiap kali kait kembang api nyangkut di ranting, sepupu-sepupuku bersorak girang. Aku semakin berpuas diri dan melempar lagi..lagi.. dan lagi. Hingga pohon itu cemerlang dengan pendar api yang menghanguskan satu-dua daunnya. Aku senang sekali walaupun setelahnya dimarahi karena mungkin aku dianggap akan membakar pohon itu. Yang penting ’kan konsep pohonnya ’terang’..hehe begitu menurutku.
Dan, kenapa harus pakai keping salju kalau kita hanya memiliki butiran air musim penghujan?
Lagi-lagi kiblat budaya yang membuat kita mengidentifikasi sesuatu, dijadikan hegemoni bertahun-tahun. Menyamarupakan ’kemasan’, sementara citarasa kita berbeda. Padahal, dimanapun dan dalam kemasan atau citarasa apapun ’hari’ itu dirayakan, maknanya tidak akan berubah.
Tapi, yah.. banyak orang menyukai kemasan daripada isinya. Kita tak bisa menghalangi kesenangan banyak orang, bukan?! Tidak semua orang menyukai perubahan :)
Ironisnya, dalam periode budaya yang nge-pop ini, banyak pemikiran radikal muncul ke permukaan. Banyak pendapat dan bahkan kiblat keyakinan berkembang. Banyak eksperimentasi ide yang tanpa batasan. Banyak hegemoni diluluhlantakkan.
Banyak hal menjadi relatif pada akhirnya. Yang kemudian memicu konflik karena tak sepaham.
Bagiku, apapun mungkin, sehingga tak perlu diperdebatkan ke’pasti’annya, tinggal ikuti saja fokus kita.. maka dunia akan terasa nyaman ditinggali :)

Tak begitu peduli dengan dua warna itu, akhirnya aku memilih menyukai kartu dengan background warna biru dan keping salju perak yang mirip dengan ukiran masa rokoko di Perancis. Untuk dipandangi saja. Cantik.. memandanginya menerbitkan rasa bahagia.
Karena itu, aku suka hari-hari semacam ini. Karena ada sesuatu yang dirayakan dan ada ’semangat’ yang memenuhi atmosfer tempat-tempat tertentu. Banyak orang menjadi sumringah, banyak kebaikan hati, banyak kegembiraan, walaupun banyak juga yang kemudian ’memanfaatkan’ royalnya kegembiraan itu. Biasa, pedagang.
Walaupun aku tak merayakan hari ini, tapi aku ikut merayakan kegembiraannya. Ikut antusias berbelanja, ikut mengagumi pernak-perniknya, ikut bernyanyi-nyanyi, ikut tertawa, ikut tertular semangatnya. Sama seperti ketika Lebaran, tertular nuansa spiritualnya.
Mungkin, untuk itu Tuhan menciptakan keberagaman dan kebersamaan.
Entah itu merah atau hijau, mungkin Tuhan lebih menyukai kita bahagia bersama.


Pattrasani
Jogja, 26 Desember 2011 – 05:15
(begadang karena sakit gigi, dan karena tidur siang dua kali :D )

Rabu, 21 Desember 2011

pamer karya coretan pensil


Menggambar beginian bisa ngilangin stress, melatih kesabaran, sekaligus menguji tingkat emosional juga..hehe
satu jam cukup lah buat nemu karakternya
dua jam bisa nambah arsir dasar en detail tapi ga 'nge-soul'
tiga jam bisa selesai sampe detail tapi pasti masih pengin nambah arsir sana-sini
duabelas jam...naaa ini nge-soul, tapi jangan berani colak-colek ya...sabarnya udah terkuras habis tu...
saya yakin Anda yang suka nggambar beginian juga ngerasain begituan...:D

Rabu, 14 Desember 2011

Gadis Belia dan Gitar Kecilnya


Mengingat tentangmu, wahai gadis muda... 
Kauserahkan tarikan nafasmu pada debu dan angin jalan yang panas.. 
tak peduli siang begitu kejam, malam begitu panjang untuk kau duduk diam dan merenungi setiap butir nasi pada dapurmu.. 
Hanya menginginkan anakmu dapat susu, dan waktu yang kaumiliki tak terbuang percuma. 
Kau hanya inginkan kehidupan, bukan bakat yang tersia-siakan.
Untukmu, di sudut manapun kota itu..


- memoar tentang seorang gadis belia di satu titik keramaian Jogja Utara (Pattrasani, 2007) -

secuil wacana tentang DKV


Generalis yang Spesialis
- Kontekstualitas dengan Profesi Desainer Komunikasi Visual –
Oleh: Arwin PJ


Ketika menyematkan label desainer atau calon desainer Komunikasi Visual (Komvis), puluhan atau bahkan mungkin ribuan pertanyaan memberondong masuk kedalam ruang benak: Akan menjadi desainer yang seperti apa?
Bukan tidak mungkin, karena cakupan wilayah disiplin ilmu Desain Komunikasi Visual (DKV) begitu luas. Seorang calon desainer komvis seakan wajib membawa ‘peta’ untuk menemukan jalan keluar dari labirin DKV yang membingungkan. Dalam konteks ini, membingungkan bukan berarti menyesatkan. Karena menyesatkan berarti tidak ada orientasi. Sehingga, peta diperlukan dan sudah pasti telah dipersiapkan oleh institusi pendidikan terkait.
Disiplin DKV memungkinkan terurainya tali-tali kreativitas individu, dibentangkan untuk mengalirkan gagasan-gagasan kearah yang sesuai. Bukan membuatnya menjadi kusut. Dan tali-tali ini seyogianya akan dibawa menyusuri lorong-lorong labirin sebagai perantara arah keluar. Logikanya, tali kreativitas yang memuat gagasan akan dibawa serta ke ‘lorong’ manapun yang akan dituju seorang desainer.
Artinya, sebentuk ide yang dimiliki tidak akan hilang atau berkurang, akan terus terbawa dari “start”, diperkaya dengan ide-ide baru, sampai menemukan output yang tepat sebagai wadah ide tersebut, dan sebuah “achievement” yang pantas didapatkan, yang berarti “jalan keluar”.

Seorang generalis, yang dimaksudkan sebagai desainer yang memiliki berbagai potensi maupun mengerjakan berbagai karya desain (dalam standar tertentu), baik berupa grafis cetak atau multimedia, komunikasi massa (seperti iklan visual), maupun bentuk seni terapan yang dekat dengan seni murni seperti ilustrasi.
Komunikasi visual yang memuat kebutuhan komunikasi (penyampaian pesan) serta informasi dalam bentuk rupa (visual) memiliki kompleksitas untuk dijelajahi satu persatu.
Kehebatan seorang generalis adalah, ia cukup potensial untuk memasuki berbagai ranah DKV sebagai profesionalitas. Yang berarti, ia cukup “mumpuni” atau kompeten dalam setiap bidang DKV. Mungkin cukup “pas” jika diberikan predikat “adaptable-professionalist”. Semoga istilah ini cukup deskriptif.
Kekurangannya (untuk tidak menyebut kelemahan), personal branding-nya kabur atau samar-samar. Karena mem-branding diri alias ‘menjual diri’ memerlukan kualitas ‘dagangan’ yang kuat. Apa yang mau dijual? Seberapa bagus kualitasnya? Sepintar apa menawarkannya? Kemana harus ditawarkan? Yang notabene – supaya laku.
Disini, mungkinkah kita menemukan satu istilah lagi?
Potential-specialist, spesialis yang potensial.

Seorang spesialis lebih mengkhususkan mendalami bidang tertentu. Katakanlah, fokus pada satu bidang disiplin DKV. Menjadi seorang profesionalis atau bahkan idealis. Apalagi dengan kondisi dunia DKV yang rentan dengan perubahan sesuai perkembangan zaman.
Senjatanya? Seorang spesialis harus memiliki ‘ilmu bertahan’ atau ‘menyerang dengan kekuatan penuh’. Jelas, hal ini berhubungan dengan skill yang kuat, juga kecermatan memilih ‘lahan pertarungan’ dalam dunia komunikasi visual.

Jalan tengah?
Menjadi generalis yang spesialis. Dimaksudkan sebagai desainer (komvis) yang menguasai berbagai bidang ilmu DKV, juga memiliki suatu kekhususan (spesialisasi) sebagai identitas potensial personalnya.
Desainer dengan identitas ini menjadi adaptable, sekaligus memiliki brand-image atas potensinya. Sehingga, kompensasinya berupa eksistensi dalam dinamika dunia komunikasi visual.

Kembali pada pertanyaan: Akan menjadi desainer yang seperti apa?
Pertanyaan ini sesungguhnya merujuk pada motivasi calon desainer komvis, yaitu mahasiswa DKV.
Labirin menjadi metafora atas perjalanan studi yang berjenjang dan “njlimet”. Kalau boleh meminjam istilah “perguruan silat” dari seorang rekan dosen (pinjam ya, Pak Adi:)..) untuk mendeskripsikan tahapan pembelajaran, maka gagasan-gagasan yang dibawa dari satu lorong ke lorong lain dalam labirin studi DKV akan diuji secara bertahap sampai melekat dalam benak mahasiswa dan secara tidak langsung memperkaya potensi berikut khasanah ilmu DKV dari waktu ke waktu.
Permasalahan yang terjadi, seringkali mahasiswa masuk progdi DKV berbekal informasi seputar “popularitas” DKV, bukan “identitas” DKV. Sehingga, pada tahun-tahun awal, suasana akademikal DKV terasa kurang welcome.
Kemungkinan, disinilah mental mahasiswa teruji.
Mahasiswa yang telah mengenal DKV akan bersikap “enjoy aja”, mahasiswa yang pintar secara akademis akan berkata “no problemo”, mahasiswa yang fokus dan idealis akan menentukan langkahnya sendiri pada bidang DKV tertentu (“no comment”), mahasiswa yang percaya diri dengan potensinya akan ‘melahap’ seluruh materi yang diberikan secara maksimal (“yes, Sir!” katanya), sementara mahasiswa yang tidak tahan uji akan berujar, “well, I’m out”.
Masing-masing memiliki pilihan, dan masing-masing pilihan akan menghadirkan konsekuensi didepan, terkait profesi berikut komitmennya.

Observasi alakadarnya yang tidak berapa lama dari kacamata profesi tersebut menelurkan beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah: Apakah ide tentang menjadi generalis yang spesialis mampu menjadi eksposisi atas opsi masa depan mahasiswa (secara personal).
Atau, jika memungkinkan, mahasiswa perlu diajak “gila” (“bagi ilmu lan ajar”, lagi-lagi meminjam tajuk suatu workshop), dalam rangka mengenali diri dan potensi, setapak demi setapak mengambil langkah untuk menjadi seorang komunikator visual generalis, spesialis, atau generalis yang spesialis.
Perlukah?


Semarang, 16 Mei 2010
-dimuat dalam buletin Tuturrupa edisi 02 tahun 2010-

Selasa, 13 Desember 2011

Tidak Setiap Hari

bukit Banaran Ambarawa
antara sumbing-sindoro

napak tilas Kotalama Semarang
Rawa Mangrove Pesisir Utara Semarang
jalan setia ku, sisi tol menuju

Tidak Setiap Hari


Berteman sebungkus keripik tempe dan sekaleng minuman soda rasa sarsaparila, berjegang kaki, kumulai catatan ini sambil mengumpat kecil dalam hati yang setengah penuh.

Sering kugunakan uangku untuk membeli sesuatu yang tak masuk akal; kebebasan, harga diri, kebanggaan, lebih sering lagi kepuasan lahir..hedonisme.
Jalan-jalan ke mal, mungkin ini pilihan terbatas dalam waktu dan lingkungan yang terbatas untukku melepas lelah akan rutinitas harian. Dompet melempem tak peduli. Bosan, mungkin. Tapi, aku berada dalam situasi yang cukup melegakan bagi seorang perempuan seusiaku (aku masih tergolong muda :D ), lajang, hanya mengikat diri pada pekerjaan yang setengahnya tanggungjawab moral, dan setengahnya lagi idealisme. Kepentingan yang kuharuskan kupenuhi demi stabilitas mentalku :D.

Pikiranku tak serumit dulu. Tapi bukan berarti tak ada persoalan yang begitu mudah dihadapi. Ketika itu datang, timbunan emosional yang menyertainya akan tergantikan dengan timbunan kalori dalam cemilan dan minuman soda, bertebaran diatas kasurku.
Maklum, aku tinggal sendirian. Tak akan ada yang protes dengan gaya hidupku. Saat ini, aku seberuntung itu.

Obrolan pagi yang hangat dengan sepasang teman di sebuah pojok warung kopi kemarin mengulur kembali ingatan tentang tenggang usia dan mimpi-mimpi. Ketika dinamai mimpi, berarti ia belum berwujud, belum digenggam, dan seperti bayangan – ia mengikuti kemana dan bagaimana tepak-tepak langkah kita.. selayaknya mimpi tidur mengikuti napas yang teratur.
(sebentar, aku makan wafer dulu. Aku suka wafer lapis cokelat krispi karamel ini kurasa karena bungkusnya yang berwarna merah, menggoda iman. Camilan pun bisa di-judge covernya, tak peduli rasanya :D)

Setiap perempuan memiliki titik tertentu dalam hidupnya, yang kurasa akan membuatnya berhenti melangkah untuk sekedar menarik napas dan merasionalisasi diri. Sekolah, bekerja, menikah, sekolah lagi, mengurus anak.. memenuhi hidup yang lain, sebagian hal yang menjadi pilihan langkah berikutnya. Mimpinya tertunda. Kalau sudah begitu, ia menjadi wanita biasa, praktis, sederhana saja.
Membiarkan hidup datang kepadanya yang berdiam diri.
Ia tidak lelah. Hanya mengambil tawaran kehidupan untuk berjalan apa adanya, tanpa diskon ataupun bonus. Hasrat telah disembunyikan, mimpi disangkarkan sementara. Dan jika tiba saatnya nanti, di waktu yang tepat, di saat orang-orang telah memahaminya sebagai individualitas, hasrat itu akan dikeluarkan, mimpi akan digenggam lagi.. kelak, dan berharap disanggupkan seperti semua orang menyanggupkan kedatangan hujan dan matahari.

Mengingkari teriakan-teriakan penuh semangat di masa kecilku dan imajinasi-imajinasi liar masa remajaku, mungkin nanti aku akan seperti itu juga. Menerima kehidupan berjalan apa adanya, seperti malam berganti pagi. Mungkin juga tidak.
Hidupku berirama.
Aku tahu itu.
Tak ada yang tak berasa. Semua hal yang enak dan tak enak bergantian dalam lompatan nada maknanya. Ketika remaja, irama itu lincah dan riang, kadang menghentak naik-turun. Ketika dewasa, nadanya halus dan teratur, kadang datar, sesekali tinggi atau rendah, dan mudah disesuaikan iramanya.
Terkendali.
Namun, satu-dua kali irama itu berhenti.
Dan, aku merasa kosong. Kemudian, kekosongan itu akan terbayar mahal dengan aku melakukan hal-hal yang tak biasa untuk mengisinya. Aneh, atau gila, atau sakral. Tergantung perasaan.
Tidak setiap hari seperti itu.
Berjalan tanpa payung di saat hujan.. gerimis atau deras,
duduk di halte atau pinggir jembatan.. membiarkan kibas rambut bersama debu jalanan,
mengarungi aspal berkilo-kilo meter hanya untuk duduk berselonjor kaki begitu sampai di tempat yang kutuju, atau berusaha bertemu Dia melalui tangkupan telapakku dirumah-Nya dalam situasi tak terencana..
atau dengan otoritasku, mengurung diri dalam kamar gelap mengarungi bayang-bayang yang terpeta di bagian dalam kelopak mataku, berbaring sampai tertidur hingga petang. Tak tersadar esok atau malam.
Bagiku, ini bisa menaikkan level iramanya lagi. Dengan cara yang tak semua orang bisa mengerti.
Dan aku tak harus dimengerti (betul katamu, Hun..:) ).
Tak apa.
Aku hanya menuruti intuisi yang dipertandakan alam dan kehidupan kepadaku, supaya aku dapat mempertanggungjawabkannya kembali.

Ah, aku tak pandai mengungkap dalam kata.. jadi, biarlah catatan ini menjadi apa adanya.


Pattrasani
Kota bukit – Minggu, 11 Desember 2011 – 22:18