Sabtu, 28 Juli 2012

Green Tea Leaf

Green Tea Leaf
-teh hijau di gelas biru-

Akhir-akhir ini aku menyukai teh hijau.
Aku menikmati saat menaburkan daun-daun kering itu kedalam gelas. Merebus air dan mengucurkan air panas mendidih keatas serpihan daun teh kering itu.
Betapa menyenangkan melihat daun-daun itu mengambang dan buih-buih kecil bermunculan. Kuhirup aromanya yang khas, saat uapnya mengepul naik.

Aku jadi sedikit mengerti mengapa sebuah proses itu baik.
Perjalanannya yang berharga.
Kita bisa saja menikmati teh hijau di sebuah restoran atau kafe, namun kenikmatannya berbeda. Di hadapan kita hanya terlihat sekedar pemuas dahaga berwarna bening kehijauan. Beberapa teguk, selesai sudah.
Kita dapatkan hasil, tidak merasakan kerja kerasnya.
Tidak juga merasakan kesan betapa citarasa yang khas diproses atau dibentuk dengan cara tertentu. Proses yang berbeda, takaran yang berbeda, akan menciptakan citarasa yang berbeda.
Termasuk pembuatnya, berikut besar penghargaannya terhadap kualitas daun-daun teh yang dipilihnya.
Rasanya seperti membesarkan anak.
Anak yang dibesarkan dengan baik akan tumbuh dengan baik pula, dan ia akan menyampaikan citra baik yang juga diterima baik oleh orang-orang di sekelilingnya.

Dalam hal ini, anak-anakku adalah daun-daun teh hijau.
Kuseduh daun-daun itu dalam gelas plastik hadiah pembelian sabun cuci serbuk (baca: deterjen). Mereknya tercetak sebagai bagian dari bahannya. Melingkari satu sisi gelas warna biru itu.
Aku tipikal orang yang akan tertarik dulu pada ‘kemasan’ daripada isi. Aku akan membeli suatu barang yang tampak menarik di mata, walaupun barang itu sama sekali tidak berguna.
Bukan berarti aku seolah menggambarkan gelas ini cantik, justru sebaliknya, gelas ini biasa, bahkan norak dengan cap merek sabun deterjen disisinya.
Diluar kebiasaanku, aku menggunakan gelas ini jauh lebih sering, meskipun tidak menandainya sebagai favoritku. Karena favoritku meliputi mug-mug bergambar istimewa.

Gelas ini pemberian ibuku.
Ibuku memilihnya dari begitu banyak koleksi barang plastiknya.
Dan aku menerimanya, walaupun sambil bertanya-tanya, kenapa ibu tidak memberiku gelas yang lain, yang lebih cantik?
Disini aku mencoba menarik beberapa kesimpulan.
Pertama, mungkin ibuku memang pelit.
Kedua, ia berpikir dari segi praktis, gelas ini plastik dan bertutup, sehingga aku yang menurutnya ceroboh ini tak perlu khawatir jika gelas ini pecah dan kemudian kerepotan mencari gantinya.
Ketiga, ibu tetap seorang perempuan yang secara alami memiliki naluri menjaga miliknya yang disukai, yang indah dan cantik, yang ingin dimilikinya secara pribadi, tidak untuk diberikan bahkan pada anaknya sendiri. Koleksi barang-barang plastiknya.
Wajar saja, aku hanya belum mengalami tumbuh dengan label “ibu”.
Jadi, kucoba memahami itu.
Keempat, kuanggap semua kesimpulan ini mewakili rasa sayang.

Dalam gelas ini, daun-daun teh melembab dan melebar, menyerupai wujud aslinya ketika masih berupa tanaman. Saat gelas bergoyang, daun-daun itu melayang dengan cantik, seperti rumput laut yang menari di dasar samudera.
Warnanya cokelat kehijauan, teksturnya lembut dan terlihat gemulai.
Berbeda dengan daun teh hitam yang diseduh, yang kaku dan keras. Seperti kakek-kakek yang masa mudanya ditempa dalam peperangan. Tidak, tidak seperti itu..

Air seduhan teh ini bening kehijauan, cantik seperti kedalaman sungai yang tenang.
Sedikit pahit, tapi sedap dan segar.
Entah kenapa aku begitu menyukainya. Kurasa karena efeknya menenangkan setelah mereguknya. Kesegarannya serasa mengaliri setiap pembuluh darah, melemaskan otot, dan menjernihkan pikiran.
Semua beban seakan lenyap.
Menjadi ringan seringan citarasanya. Ringan, karena kita tidak perlu membayangkan berbagai susunan citarasanya.
Hanya menikmati.
Dan itu menyenangkan.

Serupa pikiran manusia saat berbenturan dengan masalah.
Jika kita mencari-cari hubungan sebab-akibat atas sebuah masalah, pikiran kita akan dipenuhi berbagai konklusi dan solusi, berat fokus bertambah pada satu hal, dan berkurang untuk hal lain.
Kita terlenakan dan lelah.
Seluruh energi teralih pada satu persoalan.
Namun, ketika kita mulai menyadari bahwa hidup akan berpapasan dengan serombongan persoalan, maka satu persoalan yang mampir tak lebih dari sehelai daun yang terlepas dari tangkai sebatang pohon rimbun, ..tertiup angin.. dan jatuh didepan kaki kita, kemudian kita melangkah melewatinya.
Hidup akan jadi sederhana ketika kita memandangnya dengan sederhana, tanpa memungkiri bahwa hidup itu berat.
Sesederhana kesan dan citarasa teh hijau.
Yang ringan dan menenangkan.

Pattrasani
Semarang, 14 Desember 2009 – 23:10

Kamis, 22 Maret 2012

(Menunggu Esok untuk Tiga Jam Milikku Sendiri)


Tiga jam..
Aku merindukan kaca-kacamu bergeming..
Dan menunggu butir-butir tetes hujan berdenting..
Hanya untuk mencari celah hatimu yang aku tak tahu
Hari ini biarlah menjadi agung dan bangku ini menanti dengan pasti
Aku akan rindu damaimu
Bukan rahasiamu yang kelu
Menunggu tiga jam di sudut ini memberi kepastian
Dan biarlah angin mengantar kenangan itu padamu
Dan ijinkanlah desau dedaunan itu menoreh masa lalu
Yang untuk tiga jam ini saja kudapatkan
Pergilah..
Maka pergilah sayangku..

Pattrasani - 22 Maret 2012