Selasa, 25 Maret 2014

Fragmen-fragmen Bromo

 Senin, 20 okt 2013

Semangat pagi spontan membawa diri bergegas menuju stasiun Tugu Jogja, membeli tiket kereta ke Surabaya - sabtu pagi pk 07:00, kereta berangkat pk 07:25.

Perjalanan 4,5 jam dg Sancaka Pagi bersama Nat dan sehelai Pashmina merah jambu pemberiannya-peringatan hari lahirku. Pertama kali naik kereta pagi eksekutif bersama seorang sahabat dan pemandangan yang 'terang'.


Pk 12:00, kereta sampai di Stasiun Gubeng Sby. Membeli coffee bun utk sarapan, sambil nyegat angkot menuju Terminal Purabaya, Bungursari. (Sempat makan siang di KFC yg 'aneh' dan  bergelantungan di bus Damri, setelah ngangkot)

Bus Patas Akas menuju Probolinggo menanti, perjalanan 2 jam terkantuk-kantuk.

Pk 16:00 - terminal Probolinggo. Dirubung tukang ojek yg menawarkan diri mengantar ke desa Cemara Lawang. Seolah berpengalaman, kami menuju ke pangkalan "Bison" utk menunggu pemberangkatan berikutnya ke Cemara Lawang. Harus menunggu terkumpul 15 orang untuk berangkat.
Sembari menunggu, bercakap sambil memandangi langit senja, menikmati es warna-warni, sedikit tertuang emosi lewat satu sesi percakapan tak terduga.

Berangkat ke Cemara Lawang sekitar pukul 19:00, bersebelas didalam bison, termasuk 4 bule Perancis yg mengoceh dalam bahasa mereka tak henti-henti. Tapi, bagiku bahasa mereka seksi.

Perjalanan menuju Cemoro Lawang so amazing!
Bulan penuh, langit bersih berbintang. Bukit-bukit rapi dan cantik bercemara mengundang mata utk mengagumi.

Hampir jam sembilan ketika sampai di Cemoro Lawang. Kali ini dirubung penjual penutup kepala, sarung tangan dan syal, sementara sibuk mencari penginapan.

Tawar menawar harga penginapan dan bersepakat dengan transportasi motor menuju Bromo dan sekitarnya.
Menghabiskan sisa malam di warung kecil dengan semangkuk indomie telor panas-panas.
Suhu: 5 derajat celsius  

 

Mandi malam, tidur, dan siap dibangunkan jam 3 pagi. Fresh care cukup lumayan mengatasi dingin perut.

Persenjataan lengkap: masker, scarf hijau, pashmina gress, sepatu, kaos kaki panjang, celana rangkap, kaos rangkap, jaket, sarung tangan, kacamata UV plus dust protection, ransel dan bekal air minum.

Pagi yg keren!
Puluhan jeep hartop dan motor menuju bukit Penanjakan, berdesakan di medan terjal berliku, pagi buta.

Sunrise Pananjakan.. Garis cahaya di kaki langit. Angin dingin menderu menggoyang pepohonan, tubuh dan nafas membeku, hidung meler.



Tangan membeku didalam sarung tangan. Jagung bakar panas tak membuatnya hangat, akhirnya semangkuk indomie rebus dan kopi panas cukup menghangatkan tubuh. 
 


Menuju Kawah Bromo, perjalanan indah sekali menuruni Penanjakan.
Saatnya berkelana bermotor di Padang Pasir.
Luar biasa keren!!
Menembus debu tebal, gumuk-gumuk pasir, dan motor ini tetap tangguh!
Tertawa sepanjang jalan.

Kaki Gunung Bromo.
Berjalan bak musafir, melintasi bukit pasir yang meliuk-liuk. Kadang menanjak, kadang menurun, dan kadang berbadai pasir.
Pijakan demi pijakan tangga menuju puncak kupercepat demi segera sampai puncak, biarpun nafas hampir putus, satu dua kali berhenti, dan sahabatku tertinggal jauh dibawah.
Aku hanya ingin menaklukkan rasa menyerah.



Kawah bagiku kurang mengesankan, kecuali asap belerang yg mengepul.

Kami menuruni tangga berpasir itu, kulintasi orang2 yg terlalu lambat menuruninya. Dan sekali lagi kutinggalkan sahabatku, kali ini tertinggal diatas.
Aku tak suka melalui jalan pasir yg dilalui orang2 dan kuda. Maka kucari jalanku sendiri melalui gundukan-gundukan pasir yang dinamis, aku berlari sesekali.


Mengarungi pasir lagi dengan motor menuju bukit teletubbies dan savanna, padang rumput-bagian alam yg paling kusukai selain langit.

Padang rumput ini menakjubkanku..
Aku berbaring ditengah rerumputan menatap matahari, sampai wajahku terbakar.
Aku puas. Tapi belum cukup puas sebelum mendaki bukit teletubbies itu. Bukan sekarang waktunya.




Aku dan Nat terpisah jauh, kami menuju jalan kami sendiri2, mengarungi rumput2 pilihan kami masing2.

Padang pasir menuju Pasir Berbisik paling sulit dilalui. Beberapa kali motor tidak stabil, karena pasir terlalu 'empuk'. Badai pasir datang sesekali, dan tebal, menutup pandangan.

Padang pasir Berbisik ini menarik, sunyi, tegar.
Sesekali liuk debu menampakkan diri di kejauhan.
Hanya aku dan Nat dan dua pengendara tangguh kami. Beberapa pengunjung nampak jauh di ujung padang.


Tempat ini, kata Nat, seperti danau kering yang ditinggalkan. Beberapa bentuk batu menyerupai karang menghiasi sebagian tempat yang berbukit pasir.


Waktunya pulang. Menanjak lagi menuju desa.

Berbenah, membersihkan diri dari pasir. Mencari Bison lagi utk membawa kami ke terminal Probolinggo. Seluruh penumpang terkantuk-kantuk di perjalanan. Tapi pemandangan perjalanan bagiku sungguh sayang utk dilewatkan.

Aku tertidur pulas dalam bus sepanjang jalan menuju Surabaya. Saat turun bus di terminal Purabaya, entah dimana kacamataku terjatuh. Mungkin jadi tumbal terminal.

Makan soto lamongan yang terasa hambar, khas terminal. Kemudian bergegas menuju bus patas Eka menuju jogja, keberangkatan jam 4 sore.
Bersiap utk perjalanan panjang, 8 jam, menuju terminal Giwangan Jogja.

Berhenti makan malam di rumah makan langganan bus Eka, RM Duta, sekitar jam 9 malam.
Energiku meluap, sedikit ngantuk, sedikit limbung, sedikit tak pedulian, dan banyak ngakak.
Entah kenapa.
Mungkin puas.
Mungkin menemukan jawaban.
Mungkin karena ....

Dan Jogja, aku merindukanmu dua hari ini.
Aku pulang ke Jogjaku lagi.
(Semalam di hotel Winotosastro Timuran, menikmati kesendirian di kotaku tercinta)

Terima kasih, Bromo..





Tidak ada komentar:

Posting Komentar