Green Tea Leaf
-teh hijau di gelas biru-
Aku
menikmati saat menaburkan daun-daun kering itu kedalam gelas. Merebus air dan
mengucurkan air panas mendidih keatas serpihan daun teh kering itu.
Betapa
menyenangkan melihat daun-daun itu mengambang dan buih-buih kecil bermunculan.
Kuhirup aromanya yang khas, saat uapnya mengepul naik.
Aku jadi
sedikit mengerti mengapa sebuah proses itu baik.
Perjalanannya
yang berharga.
Kita bisa
saja menikmati teh hijau di sebuah restoran atau kafe, namun kenikmatannya
berbeda. Di hadapan kita hanya terlihat sekedar pemuas dahaga berwarna bening
kehijauan. Beberapa teguk, selesai sudah.
Kita dapatkan
hasil, tidak merasakan kerja kerasnya.
Tidak juga
merasakan kesan betapa citarasa yang khas diproses atau dibentuk dengan cara
tertentu. Proses yang berbeda, takaran yang berbeda, akan menciptakan citarasa
yang berbeda.
Termasuk
pembuatnya, berikut besar penghargaannya terhadap kualitas daun-daun teh yang
dipilihnya.
Rasanya
seperti membesarkan anak.
Anak yang
dibesarkan dengan baik akan tumbuh dengan baik pula, dan ia akan menyampaikan
citra baik yang juga diterima baik oleh orang-orang di sekelilingnya.
Dalam hal
ini, anak-anakku adalah daun-daun teh hijau.
Kuseduh
daun-daun itu dalam gelas plastik hadiah pembelian sabun cuci serbuk (baca:
deterjen). Mereknya tercetak sebagai bagian dari bahannya. Melingkari satu sisi
gelas warna biru itu.
Aku tipikal
orang yang akan tertarik dulu pada ‘kemasan’ daripada isi. Aku akan membeli
suatu barang yang tampak menarik di mata, walaupun barang itu sama sekali tidak
berguna.
Bukan
berarti aku seolah menggambarkan gelas ini cantik, justru sebaliknya, gelas ini
biasa, bahkan norak dengan cap merek sabun deterjen disisinya.
Diluar
kebiasaanku, aku menggunakan gelas ini jauh lebih sering, meskipun tidak
menandainya sebagai favoritku. Karena favoritku meliputi mug-mug bergambar
istimewa.
Gelas ini
pemberian ibuku.
Ibuku
memilihnya dari begitu banyak koleksi barang plastiknya.
Dan aku
menerimanya, walaupun sambil bertanya-tanya, kenapa ibu tidak memberiku gelas
yang lain, yang lebih cantik?
Disini aku
mencoba menarik beberapa kesimpulan.
Pertama,
mungkin ibuku memang pelit.
Kedua, ia
berpikir dari segi praktis, gelas ini plastik dan bertutup, sehingga aku yang
menurutnya ceroboh ini tak perlu khawatir jika gelas ini pecah dan kemudian kerepotan
mencari gantinya.
Ketiga, ibu
tetap seorang perempuan yang secara alami memiliki naluri menjaga miliknya yang
disukai, yang indah dan cantik, yang ingin dimilikinya secara pribadi, tidak
untuk diberikan bahkan pada anaknya sendiri. Koleksi barang-barang plastiknya.
Wajar saja,
aku hanya belum mengalami tumbuh dengan label “ibu”.
Jadi, kucoba
memahami itu.
Keempat,
kuanggap semua kesimpulan ini mewakili rasa sayang.
Dalam gelas
ini, daun-daun teh melembab dan melebar, menyerupai wujud aslinya ketika masih
berupa tanaman. Saat gelas bergoyang, daun-daun itu melayang dengan cantik, seperti
rumput laut yang menari di dasar samudera.
Warnanya
cokelat kehijauan, teksturnya lembut dan terlihat gemulai.
Berbeda
dengan daun teh hitam yang diseduh, yang kaku dan keras. Seperti kakek-kakek
yang masa mudanya ditempa dalam peperangan. Tidak, tidak seperti itu..
Air seduhan
teh ini bening kehijauan, cantik seperti kedalaman sungai yang tenang.
Sedikit
pahit, tapi sedap dan segar.
Entah kenapa
aku begitu menyukainya. Kurasa karena efeknya menenangkan setelah mereguknya.
Kesegarannya serasa mengaliri setiap pembuluh darah, melemaskan otot, dan
menjernihkan pikiran.
Semua beban
seakan lenyap.
Menjadi
ringan seringan citarasanya. Ringan, karena kita tidak perlu membayangkan
berbagai susunan citarasanya.
Hanya
menikmati.
Dan itu
menyenangkan.
Serupa
pikiran manusia saat berbenturan dengan masalah.
Jika kita
mencari-cari hubungan sebab-akibat atas sebuah masalah, pikiran kita akan
dipenuhi berbagai konklusi dan solusi, berat fokus bertambah pada satu hal, dan
berkurang untuk hal lain.
Kita
terlenakan dan lelah.
Seluruh energi
teralih pada satu persoalan.
Namun,
ketika kita mulai menyadari bahwa hidup akan berpapasan dengan serombongan
persoalan, maka satu persoalan yang mampir tak lebih dari sehelai daun yang
terlepas dari tangkai sebatang pohon rimbun, ..tertiup angin.. dan jatuh
didepan kaki kita, kemudian kita melangkah melewatinya.
Hidup akan
jadi sederhana ketika kita memandangnya dengan sederhana, tanpa memungkiri
bahwa hidup itu berat.
Sesederhana kesan
dan citarasa teh hijau.
Yang ringan
dan menenangkan.
Pattrasani
Semarang, 14 Desember 2009 – 23:10