Kamis, 20 Maret 2014

cerpen (semacam itu pokoknya..): Buku Ini Sekali Lagi Kosong

Buku Ini, Sekali Lagi, Kosong..


Buku itu masih ada di tangannya. Buku kecil selebar genggaman tangan, bersampul hijau kebiruan, sederhana, bergambar sketsa menara Eiffel Paris. Ah, melihatnya saja ia tiba-tiba jadi merasa romantis. Citra romantis itu tampaknya melekat padanya sejak ia dilahirkan, mungkin karena ia menyandang satu nama pemberian ibunya yang penuh mimpi.. Lintangsani, namanya Lintangsani.
Lintangsani - keluhuran pendar bintang, paling tidak sejauh itu sang ibu memaknainya.

Nduk, engkau adalah bintang yang berpendar entah saat kelahiran atau kejatuhannya.. Maka hidupmu akan menjadi lapisan-lapisan cahaya seiring gerak jiwamu yang sederhana.

Kalimat ibu terasa berat.
Ia tak bisa sepenuh memaknainya. Tapi setidaknya, lapisan-lapisan cahaya itu ia terjemahkan sebagai langkah-langkah kecil hidup yang kadang riang, kadang sendu, kadang meluap dalam amarah, kadang membentangkan kehampaan dalam benak. Dan disinilah, di buku inilah Lintangsani akan mulai menuliskan kisah langkah itu di setiap lembar kertas yang haus akan tinta dan cerita. Berniat.

Namun, lembaran itu masih saja sepi kata-kata. Lintangsani membiarkan kata-kata bermain-main dan berkelindan dalam kepalanya, kata beradu kata, kalimat memperebutkan estetika susunannya, dan makna..ah..dalam benaknya ia mulai kehilangan makna. Makna mulai tak selaras dengan kata hati, dan kata hati enggan beriringan dengan kata pikiran, rasionalitas. Kemudian gerak tangan tak menjadi kuasa untuk menampung refleksi makna meluncur pada goresan.
Ia sulit menulis. Sesederhana itu sebetulnya.
Walaupun saat ini di hadapan Lintangsani, laut tenang tanpa ombak mengalunkan musik tanpa suara. Capung liar melesat ringan menyusuri gerak angin, kadang singgah di pucuk semak. Mentari pagi menyentuh langit pucat yang masih berhiaskan purnama semalam. Warna pagi mulai memetakan bayangan manusia yang beberapa bercengkrama sayup di dermaga sederhana ini. Betapapun Lintangsani mencintai gunung menjulang, wajah laut terhampar tenang dan sederhana semacam ini membuatnya ingin mencintai laut juga. Tapi bukan tanpa alasan. Ia hidup dengan beberapa alasan. Alasan mencintai wajah laut ini karena cinta. Cinta padanya - seorang lelaki yang mencintai laut dan cakrawala. Keinginan bawahsadarnya untuk mensejajarkan diri dengan lelaki itu membuat ia mengabaikan kejujuran pada dirinya sendiri. Bahkan mengabaikan kejujuran pada gerak hatinya untuk mengungkap makna tertoreh tinta dalam wujud tulisan.
Buku itu kini hanya diam.

Buku yang telah bertahun dimiliki Lintangsani memiliki saingan.
Buku lain yang ‘tak ber-tubuh’ menemani Lintangsani melembarkan lapisan cahaya hidupnya dalam huruf-huruf yang keluar melalui sentuhan “tuts” keyboard. E-mail, chatting, sms berlarik-larik panjangnya telah menemani Lintangsani jauh lebih sering mengungkap makna daripada si buku Eiffel. Tapi Lintangsani mulai letih, letih menatap layar yang berkedip namun membisu, letih setiap huruf selalu serupa lekuknya, muak bahwa huruf tak memiliki kuasa ekspresinya lagi.
Berjuta-juta huruf telah ia ketikkan untuk menuansakan lapisan cahaya dalam kata, kalimat, frase dan paragraf. Juga ratusan judul; suka dan cita, duka, peristiwa, pelampiasan, dendam, doa entah kepada siapa, syukur dan permohonan ampun, bahkan hasrat yang menjadi rahasianya. Juga memori percintaannya dengan lelaki pecinta laut itu. Bercakap tanpa suara.
Ia mulai jenuh, ketika tulisan-tulisan digital itu mulai memiliki otoritas, meminta makna terus menerus. Dan ia harus memberikannya tanpa tahu arti makna itu. Ia mulai merasa mengkhianati diri melalui huruf-huruf yang arogan dalam media digital ini.
Lintangsani mengelus garis kerut yang terbentuk halus di keningnya, menggosoknya, seakan melicinkannya bisa membuat alur pikirnya melicin juga.
Sudahlah, pikirnya.
Kini ia menyadari betapa makna nama pemberian sang ibu mulai memberatkan, mengkonsep hidupnya terus menerus. Dan pada nama itu ia menyalahkan, bagian pembelaan dirinya.

Lintangsani menatap layar mini pada telepon genggamnya yang cerdas dan cerdik. Beringsut ke ujung dermaga, ia menyelami suasana dan keterikatan pribadinya pada benda ini. Disusurinya rangkaian-rangkaian kata dalam email, email dengan si lelaki pecinta laut, yang kepadanya lapisan cahaya itu ia bagikan. Judul demi judul terbaca habis.
Menekuri tulisan-tulisan itu lebih dalam, Lintangsani merasakan bahwa tulisan itu kemudian menjadi onggokan kata-kata saja, walaupun tetap berkisah. Karena itu hanya milik dirinya dan si lelaki. Hanya sekedar kisah, miliknya..dan miliknya. Teks-teks itu miliknya. Tidak pernah dimiliki orang lain, tak pernah menginspirasi selain dirinya dan si lelaki. Istimewa, namun terbatas. Lapisan cahaya yang dikiranya telah dimiliki dalam setiap tulisan, mulai berubah wujud hanya serupa dekorasi hidupnya.
Sebaris tulisan terbaca;
Sesuatu yang harus dikerjakan, kerjakanlah!

Lintangsani tersenyum.
Bukankah ini adalah satu kalimat di sebuah buku dongeng tipis di masa kecilnya? Di umur ke-sembilan atau ke-sepuluhnya. Ia mengingat judulnya yang terjemahan - “Fung Hsuen yang Cerdik”, sebuah dongeng dari negeri Cina, negeri yang sarat falsafah ketimuran. Fung Hsuen, pemuda yang dianggap bodoh oleh lingkungannya memiliki satu kalimat yang sering diucapkan: Sesuatu yang harus dikerjakan, kerjakanlah!
Ia lugu dan jujur. Tapi, ia berhasil meresapi hidup dengan satu kalimat sederhana itu, yang menurut Lintangsani adalah kejujuran yang berprinsip, memuat komitmen tinggi, dan optimistik. Sejak itulah, Lintangsani mengikuti falsafah Fung Hsuen, tokoh cerita fiksi yang berpengaruh dalam gerak Lintangsani menciptakan lapisan-lapisan cahaya hidupnya.
Ya, kenapa tidak? Bukankah inspirasi sekecil apapun akan membentuk alam pikiran kita? Entah buku tipis, entah buku tebal, entah tulisan panjang, entah tulisan sebaris, entah dalam buku, entah dalam teks digital, entah sederhana maupun ‘berat’, entah ‘kosong’, entah ‘berisi’. Semua mengekspresikan maknanya sendiri, tulisan-tulisan itu. Bahkan tulisannya dengan si lelaki pecinta laut. Bukankah makna-makna itu berkumpul memenuhi ruang pikirnya? Menentukan apa yang harus dilakukan, yang mungkin saja telah membentuk kejujuran itu sendiri tanpa ia sadari.
Pandangan Lintangsani mulai mengabur, entah karena silau sinar mentari pagi membutakan matanya atau karena bayangan tentang “makna” itu berdesakan berkumpul di batas pandangnya.
Sudahlah, tak serumit itu, pikirnya. Ia selalu berkontradiksi dengan seluruh pemahamannya akan sesuatu.

Bayangan berikutnya yang muncul setelah bayangan makna itu pergi berupa bayangan buku kosong yang selalu siap terisi imaji. Kosong untuk selalu diisi. Konsep lembaran kosong yang mendamba torehan-torehan makna. Yang mengawali setiap cerita, yang menengahi konflik, yang mengakhiri dengan inspirasi baru. Adakah buku seperti itu?

Lintangsani menatap buku Eiffel itu, lebih lama daripada biasanya. Kali ini ia terserang romantisme aneh. Rasa cinta yang mendadak muncul. Spontanitas yang paling jujur. Sementara ia tak pernah mengerti definisi cinta. Tapi ia cinta, sesederhana itu saja. Tak harus mengerti alasan ia jatuh kedalamnya. Tak juga kepada lelaki pencinta laut itu.. dan sayangnya Lintangsani juga tak mengerti kenapa ia harus melibatkan tulisannya dengan si lelaki itu ke wilayah makna-memaknai ini. Karena mungkin setiap makna tak bisa dimaknai secara terpisah, makna satu dengan makna lain, pemahaman satu orang dengan pemahaman orang lain, dan hubungan diantaranya. Keterikatan tanpa hubungan fisik, mungkin seperti itu. Mungkin, karena ia hanya bercakap dalam tulisan dan makna dengan lelaki itu, dan memahami bahwa setiap makna bisa menjadi sangat istimewa, entah tertulis atau belum tertuliskan. Tak perlu bicara. Dan tak usah bicarakan lagi. Kita masing-masing sudah tahu. Hanya kau dan aku.


Dan kemudian Lintangsani berusaha memahami kenapa ia sulit menorehkan makna kedalam buku Eiffel ini. Ya, karena ia jatuh cinta. Dan itu cukup memberi ia pengertian bahwa cinta tak terberi dan tak diberikan. Cukup hadir dan ada. Buku ini tak perlu diisi kata-kata, karena ia telah mampu berkata-kata dalam maknanya sendiri. Buku ini memaknai cinta pada diri Lintangsani. Dan itu lebih bermakna dalam daripada yang akan tertuliskan.

Buku bersampul biru-kehijauan serupa laut ini, yang bergambar sketsa menara Eiffel Paris, yang selebar genggaman tangan… sekali lagi, kosong.


Disamping petak jendela..menunggui sahabat yang tertidur pulas dan (katanya) bermimpi tentang asmara..
Semarang, 3 November 2013
-Arwin Pattrasani-

* termuat dalam kompilasi "Bunda Kata" 
*adakah copyright-nya? semoga tidak salah memuatnya disini :)




2 komentar:

  1. jadi buku itu masih kosong juga ? why oh why...

    BalasHapus
  2. Masih kosong..selalu kosong..kosong utk selalu siap diisi..

    BalasHapus