Buku Ini, Sekali Lagi, Kosong..
Buku itu
masih ada di tangannya. Buku kecil selebar genggaman tangan, bersampul hijau
kebiruan, sederhana, bergambar sketsa menara Eiffel Paris. Ah, melihatnya saja
ia tiba-tiba jadi merasa romantis. Citra romantis itu tampaknya melekat padanya
sejak ia dilahirkan, mungkin karena ia menyandang satu nama pemberian ibunya
yang penuh mimpi.. Lintangsani, namanya Lintangsani.
Lintangsani
- keluhuran pendar bintang, paling tidak sejauh itu sang ibu memaknainya.
Nduk, engkau adalah bintang yang berpendar
entah saat kelahiran atau kejatuhannya.. Maka hidupmu akan menjadi
lapisan-lapisan cahaya seiring gerak jiwamu yang sederhana.
Kalimat ibu
terasa berat.
Ia tak bisa
sepenuh memaknainya. Tapi setidaknya, lapisan-lapisan cahaya itu ia terjemahkan
sebagai langkah-langkah kecil hidup yang kadang riang, kadang sendu, kadang
meluap dalam amarah, kadang membentangkan kehampaan dalam benak. Dan disinilah,
di buku inilah Lintangsani akan mulai menuliskan kisah langkah itu di setiap
lembar kertas yang haus akan tinta dan cerita. Berniat.
Namun, lembaran
itu masih saja sepi kata-kata. Lintangsani membiarkan kata-kata bermain-main
dan berkelindan dalam kepalanya, kata beradu kata, kalimat memperebutkan
estetika susunannya, dan makna..ah..dalam benaknya ia mulai kehilangan makna.
Makna mulai tak selaras dengan kata hati, dan kata hati enggan beriringan
dengan kata pikiran, rasionalitas. Kemudian gerak tangan tak menjadi kuasa
untuk menampung refleksi makna meluncur pada goresan.
Ia sulit
menulis. Sesederhana itu sebetulnya.
Walaupun
saat ini di hadapan Lintangsani, laut tenang tanpa ombak mengalunkan musik tanpa
suara. Capung liar melesat ringan menyusuri gerak angin, kadang singgah di
pucuk semak. Mentari pagi menyentuh langit pucat yang masih berhiaskan purnama
semalam. Warna pagi mulai memetakan bayangan manusia yang beberapa bercengkrama
sayup di dermaga sederhana ini. Betapapun Lintangsani mencintai gunung
menjulang, wajah laut terhampar tenang dan sederhana semacam ini membuatnya
ingin mencintai laut juga. Tapi bukan tanpa alasan. Ia hidup dengan beberapa
alasan. Alasan mencintai wajah laut ini karena cinta. Cinta padanya - seorang
lelaki yang mencintai laut dan cakrawala. Keinginan bawahsadarnya untuk mensejajarkan
diri dengan lelaki itu membuat ia mengabaikan kejujuran pada dirinya sendiri.
Bahkan mengabaikan kejujuran pada gerak hatinya untuk mengungkap makna tertoreh
tinta dalam wujud tulisan.
Buku itu
kini hanya diam.
Buku yang
telah bertahun dimiliki Lintangsani memiliki saingan.
Buku lain
yang ‘tak ber-tubuh’ menemani Lintangsani melembarkan lapisan cahaya hidupnya
dalam huruf-huruf yang keluar melalui sentuhan “tuts” keyboard. E-mail, chatting, sms berlarik-larik panjangnya
telah menemani Lintangsani jauh lebih sering mengungkap makna daripada si buku
Eiffel. Tapi Lintangsani mulai letih, letih menatap layar yang berkedip namun
membisu, letih setiap huruf selalu serupa lekuknya, muak bahwa huruf tak
memiliki kuasa ekspresinya lagi.
Berjuta-juta
huruf telah ia ketikkan untuk menuansakan lapisan cahaya dalam kata, kalimat,
frase dan paragraf. Juga ratusan judul; suka dan cita, duka, peristiwa,
pelampiasan, dendam, doa entah kepada siapa, syukur dan permohonan ampun,
bahkan hasrat yang menjadi rahasianya. Juga memori percintaannya dengan lelaki
pecinta laut itu. Bercakap tanpa suara.
Ia mulai
jenuh, ketika tulisan-tulisan digital itu mulai memiliki otoritas, meminta
makna terus menerus. Dan ia harus memberikannya tanpa tahu arti makna itu. Ia
mulai merasa mengkhianati diri melalui huruf-huruf yang arogan dalam media
digital ini.
Lintangsani
mengelus garis kerut yang terbentuk halus di keningnya, menggosoknya, seakan
melicinkannya bisa membuat alur pikirnya melicin juga.
Sudahlah,
pikirnya.
Kini ia
menyadari betapa makna nama pemberian sang ibu mulai memberatkan, mengkonsep
hidupnya terus menerus. Dan pada nama itu ia menyalahkan, bagian pembelaan
dirinya.
Lintangsani
menatap layar mini pada telepon genggamnya yang cerdas dan cerdik. Beringsut ke
ujung dermaga, ia menyelami suasana dan keterikatan pribadinya pada benda ini.
Disusurinya rangkaian-rangkaian kata dalam email, email dengan si lelaki
pecinta laut, yang kepadanya lapisan cahaya itu ia bagikan. Judul demi judul
terbaca habis.
Menekuri
tulisan-tulisan itu lebih dalam, Lintangsani merasakan bahwa tulisan itu
kemudian menjadi onggokan kata-kata saja, walaupun tetap berkisah. Karena itu
hanya milik dirinya dan si lelaki. Hanya sekedar kisah, miliknya..dan miliknya.
Teks-teks itu miliknya. Tidak pernah dimiliki orang lain, tak pernah
menginspirasi selain dirinya dan si lelaki. Istimewa, namun terbatas. Lapisan
cahaya yang dikiranya telah dimiliki dalam setiap tulisan, mulai berubah wujud hanya
serupa dekorasi hidupnya.
Sebaris
tulisan terbaca;
Sesuatu yang harus dikerjakan, kerjakanlah!
Lintangsani
tersenyum.
Bukankah ini
adalah satu kalimat di sebuah buku dongeng tipis di masa kecilnya? Di umur
ke-sembilan atau ke-sepuluhnya. Ia mengingat judulnya yang terjemahan - “Fung
Hsuen yang Cerdik”, sebuah dongeng dari negeri Cina, negeri yang sarat falsafah
ketimuran. Fung Hsuen, pemuda yang dianggap bodoh oleh lingkungannya memiliki
satu kalimat yang sering diucapkan: Sesuatu
yang harus dikerjakan, kerjakanlah!
Ia lugu dan
jujur. Tapi, ia berhasil meresapi hidup dengan satu kalimat sederhana itu, yang
menurut Lintangsani adalah kejujuran yang berprinsip, memuat komitmen tinggi,
dan optimistik. Sejak itulah, Lintangsani mengikuti falsafah Fung Hsuen, tokoh
cerita fiksi yang berpengaruh dalam gerak Lintangsani menciptakan
lapisan-lapisan cahaya hidupnya.
Ya, kenapa
tidak? Bukankah inspirasi sekecil apapun akan membentuk alam pikiran kita?
Entah buku tipis, entah buku tebal, entah tulisan panjang, entah tulisan
sebaris, entah dalam buku, entah dalam teks digital, entah sederhana maupun
‘berat’, entah ‘kosong’, entah ‘berisi’. Semua mengekspresikan maknanya
sendiri, tulisan-tulisan itu. Bahkan tulisannya dengan si lelaki pecinta laut.
Bukankah makna-makna itu berkumpul memenuhi ruang pikirnya? Menentukan apa yang
harus dilakukan, yang mungkin saja telah membentuk kejujuran itu sendiri tanpa
ia sadari.
Pandangan
Lintangsani mulai mengabur, entah karena silau sinar mentari pagi membutakan
matanya atau karena bayangan tentang “makna” itu berdesakan berkumpul di batas
pandangnya.
Sudahlah,
tak serumit itu, pikirnya. Ia selalu berkontradiksi dengan seluruh pemahamannya
akan sesuatu.
Bayangan
berikutnya yang muncul setelah bayangan makna itu pergi berupa bayangan buku
kosong yang selalu siap terisi imaji. Kosong untuk selalu diisi. Konsep
lembaran kosong yang mendamba torehan-torehan makna. Yang mengawali setiap
cerita, yang menengahi konflik, yang mengakhiri dengan inspirasi baru. Adakah
buku seperti itu?
Lintangsani
menatap buku Eiffel itu, lebih lama daripada biasanya. Kali ini ia terserang
romantisme aneh. Rasa cinta yang mendadak muncul. Spontanitas yang paling
jujur. Sementara ia tak pernah mengerti definisi cinta. Tapi ia cinta,
sesederhana itu saja. Tak harus mengerti alasan ia jatuh kedalamnya. Tak juga
kepada lelaki pencinta laut itu.. dan sayangnya Lintangsani juga tak mengerti
kenapa ia harus melibatkan tulisannya dengan si lelaki itu ke wilayah
makna-memaknai ini. Karena mungkin setiap makna tak bisa dimaknai secara
terpisah, makna satu dengan makna lain, pemahaman satu orang dengan pemahaman
orang lain, dan hubungan diantaranya. Keterikatan tanpa hubungan fisik, mungkin
seperti itu. Mungkin, karena ia hanya bercakap dalam tulisan dan makna dengan
lelaki itu, dan memahami bahwa setiap makna bisa menjadi sangat istimewa, entah
tertulis atau belum tertuliskan. Tak
perlu bicara. Dan tak usah bicarakan lagi. Kita masing-masing sudah tahu. Hanya
kau dan aku.
Dan kemudian
Lintangsani berusaha memahami kenapa ia sulit menorehkan makna kedalam buku
Eiffel ini. Ya, karena ia jatuh cinta. Dan itu cukup memberi ia pengertian
bahwa cinta tak terberi dan tak diberikan. Cukup hadir dan ada. Buku ini tak
perlu diisi kata-kata, karena ia telah mampu berkata-kata dalam maknanya
sendiri. Buku ini memaknai cinta pada diri Lintangsani. Dan itu lebih bermakna
dalam daripada yang akan tertuliskan.
Buku
bersampul biru-kehijauan serupa laut ini, yang bergambar sketsa menara Eiffel
Paris, yang selebar genggaman tangan… sekali lagi, kosong.
Disamping petak jendela..menunggui sahabat yang tertidur pulas dan
(katanya) bermimpi tentang asmara..
Semarang, 3 November 2013
-Arwin Pattrasani-
* termuat dalam kompilasi "Bunda Kata"
*adakah copyright-nya? semoga tidak salah memuatnya disini :)
jadi buku itu masih kosong juga ? why oh why...
BalasHapusMasih kosong..selalu kosong..kosong utk selalu siap diisi..
BalasHapus