Manila Bay
Cloudy afternoon
Sabtu siang.
Dan tak tahu yang harus dilakukan.
Sedikit ritual akhir ajaran, berfoto bersama Mam Cortez,
Sam, dan Peter (Mark and Brennick wasn’t there). Souvenir untuk waktu,
foto-foto itu.
Masih mendung dengan satu-dua tetes hujan di sepanjang jalan
yang butuh perbaikan ini, Taft Avenue.
Aku hanya butuh makan siang, walaupun tak lapar. Tapi, kopi
kalengan dari Thailand pagi tadi yang kuminum meninggalkan sedikit rasa mual.
Pengganjal perut yang sederhana dan bercitarasa kubutuhkan sekarang. Pilihan
biasa, Mc. D (ato Mac Do sebutan disini), kemudian kuingat yang sama, berbau
lokal, Jollibee, persis di seberang jalan.
Keputusan itu persis kubuat di pelataran Mc. D, saat
mengucap salam perpisahan dengan Peter (Wang Bo, identitas nasionalnya). Pemuda
yang menyenangkan, walaupun bicaranya (bahasa Inggris) terpatah-patah dengan
logat cina-nya yang kental. Anak yang baik.
Kami saling mengucapkan kata yang diyakini memberi harapan
dan keberuntungan satu sama lain. Dia akan kembali ke Cina, memberiku nomor
ponsel-nya dan email disana. Ia tak punya Facebook, Facebook dilarang disana,
bukan karena ‘diharamkan’, tapi lebih karena pelarangan pemerintah atas website
luar-negara. Hmm, nasionalis ataukah chauvinis? Kupikir, itu salah satu upaya
“bela-negara”. Bagus juga.. (saat itu aku baru sadar, Facebook tak selalu
berguna untuk bertemu teman lama)
Masih mendung.
Dari Jollibee, terlihat pemandangan khas Metro. Jeepney warna-warni yang ‘keras namun
berusaha ceria’, sepasang kekasih bergandengan mesra berjalan riang di trotoar,
tiga anak kecil berlari menyeberang jalan, tukang pedicab berseru manis mencari pelanggan.. menawarkan kenyamanan pedicabnya yang sederhana. Diatas deru
jalanan, LRT Yellow-Line menderu
bersuara serupa besi bergesekan bercampur peluit, dilatarbelakangi gedung-gedung
belasan lantai menjulang bangga.
Ah, warna-warni dalam kelabunya udara.
Aku tergerak menjadi ‘walker’
lagi. Jariku menelusuri peta digital, mencari arah laut yang kutahu tak
seberapa jauh. Karena melihat laut aku akan merindukan seseorang yang menyukai
cakrawala.
Siapa tahu kutemukan lebih dari sekedar laut disana. Mungkin
“message in the bottle” dari
seseorang dalam melankolika di belahan bumi lain, mungkin sudah menjadi renta.
Atau, mungkin juga melihat putri duyung terdampar, siapa tahu? :D
Kuikuti alur O’Campo Street, melintasi R Street, Mabini, dan
akhirnya Roxas, dimana ada boulevard
disana. Cukup terkejut, karena nuansanya begitu berbeda dengan metro manila
yang hanya terpaut kira-kira sepuluh menit berjalan kaki.
Suasana kota modern yang bersih dan lapang menawarkan diri
untuk dijajahi. Di seberang jalan berdiri megah Cultural Center of the
Philippines (CCP), gedung yang menyajikan ‘misi budaya’ dan pertunjukan. Dengan
taman luas dan air mancur yang menyemburkan air beberapa meter keatas membaur
dengan angin, gedung itu menjadi point of
interest dari Roxas Boulevard.
Air berbaur dengan angin.
Air dan angin. Dua kata itu menarik perhatianku beberapa
hari ini.
Kuabadikan beberapa moment
dalam kotak kecilku yang pandai bicara ini, termasuk potret seorang perempuan
(terlihat) tak waras sedang terbaring di tengah jalan dan meneriaki entah apa.
Teriakannya seakan mengekspresikan kebebasan yang dia miliki, sementara orang
lain menatapnya dengan berbagai persepsi dan ekspresi rasa, mungkin geli,
takut, iba, atau marah seperti seorang petugas berseragam biru yang menudingnya
dengan wajah murka dari trotoar tempat aku berdiri.
Sementara aku dan beberapa orang menyeberang jalan,
perempuan itu berlari tak karuan sambil menubruki mobil-mobil di jalanan. Ah,
kasihan dia.
Pukul 14 lebih 10 menit (waktu Manila) saat aku menemukan
laut ini.
Deretan gedung-gedung “pemimpi langit” berdampingan,
berdesakan di sepenjang dermaga di kejauhan sana, seakan membuktikan tak ada
jarak lagi antara alam dan modernitas, atau mungkin membuktikan mereka merajai
alam. Aku tak terlalu peduli, karena suasana ini sudah menjebakku ke alam
nostalgi baru.
Empat lelaki melemparkan kail ke laut. Mereka masih terlihat
muda dan kuat, membiarkan tubuh mereka terendam air sepanjang pinggang. Kutahu
saat itu pastinya air sedang sangat dingin, karena mendung kelabu dan tetesan
air hujan terasa satu dua kali menitik diatas kepalaku.
Tongkat pancing melengkung lentur seiring gerak para pemuda
itu, bergantian. Entah apa yang mereka pancing. Sepatu bot kukira tangkapan
terbesarnya (seperti di komik Donal Bebek).
tiga pemancing |
Di trotoar yang juga dermaga berubin merah itu terpancang
tiga tiang dengan bendera berkibar ringan. Bendera paling tengah sudah kukenal
dengan baik, bendera Filipina. Dua pendampingnya, satu berwarna merah dengan
semacam simbol di tengahnya (serupa swastika yang terpecah dan meliuk-liuk),
satu lagi berwarna putih dengan tulisan “Harbour Square”. Itu identitas tempat
ini. Dimana ada bendera, pasti ada kebanggaan yang ditampilkan seirama
kibarnya.
Beberapa camar melintas. Tidak besar. Kecil-kecil saja.
Dua diantaranya terbang santai memutari dua kapal cruiser.
Burung yang terbang di belakang tiba-tiba menukik tajam, menyambar sesuatu dari
permukaan air. Seekor ikan kecil yang malang, mungkin. Aku hanya berharap itu
bukan Marlin atau Dory yang sedang mencari Nemo.
Oceana Maria Scuba, satu cruiser tepat di sudut pandanganku,
menarik perhatian. Warnanya biru tua dan putih (warna khas bahari), tidak
glamor, tidak formal, tidak ‘tajam’, punya banyak jendela kotak kecil-kecil,
dan namanya sangat bersahabat, serupa perempuan muda sederhana nan manis.
gadis manis "Oceana Maria Scuba" |
Di sebelahnya berlabuh cruiser-cruiser lancip panjang,
besar-kecil, berkesan ‘petualang modern’, bentuknya selaju dengan kecepatan.
Tapi, berbeda dengan yang lain, si Maria ini tenang dan kokoh, namun manis.
Aku menyusuri trotoar ubin merah selebar tiga meter di
sepanjang dermaga. Tempat ini tenang dan memancing kerinduan, mungkin kerinduan
akan kekasih. Atau, bisa juga tempat ini cocok untuk seorang gadis yang sedang
patah hati atau ditinggal pergi jauh kekasihnya, gadis yang butuh ketenangan
sekaligus teman. Ini mendukung keduanya. Ato justru lelaki? Lelaki Filipina
(seperti yang kudengar) rata-rata melankolis.
Sementara, berderet di sepanjang dermaga, kafe-kafe
menawarkan tempat keleluasaan untuk kaki yang lelah. Di satu bagian perlintasan
ruang terbuka, kursi-kursi biru berjejer rapi menawarkan keramahan. Nuansanya
khas open-air space, budaya barat.
Payung-payung pantai warna senada kafe terbuka, menawarkan
perlindungan untuk jiwa yang mungkin kesepian. Bukan aku.
Aku tak sedang kesepian, hanya bergayut pada kerinduan yang
belum menemukan batasnya, hari-hari ini. Ada sosok yang menyukai lautan di
seberang pulau sana. Laut ini mungkin menghubungkanku dengannya. Kuharap.
Kupesan kopi, panas.
Seperti biasanya, kunikmati perlahan, hingga mendingin.
Mencecapnya tanpa suara, hanya suara kertas bergesekan
dengan ujung pulpen, temanku berbagi cerita disini.
Ceritanya mungkin akan lebih banyak lagi, jika kopi tak
segera habis, atau senja tak lekas pudar.
Semakin banyak orang, semakin banyak kubayangkan kisah-kisah
mereka. Kisah yang mereka alami yang membawa mereka sampai ke dermaga ini.
Tentunya banyak sekali, dan itu tak akan pernah cukup satu buku menuliskannya.
Seperti anjing kecil yang lucu dengan dua gadis, majikan
mudanya itu. Kisah apa yang pernah terjadi pada mereka, mungkin menarik untuk
direka-reka. Yang kutemukan dari ekspresi mereka sekarang adalah kebahagiaan,
terutama ketika anjing mungil mereka dikerumuni sekelompok pemuda yang membuat
mereka berkenalan. Tapi,siapa tahu yang terjadi satu hari atau satu menit
sebelumnya?
Angin disini membawa rahasia mereka, bertiup pelan, dan
menguar lenyap.
kopi, kertas, dan pena tiga meter dari "si Maria" |
Ceritanya mungkin akan lebih banyak lagi,
Jika kopi tak segera habis..
…atau senja tak lekas pudar..
Mungkin semakin banyak orang,
..semakin banyak kisah..
Semakin banyak angin, semakin awan
menggulita..
Angin disini membawa serta rahasia mereka,
..terlihat pada riak air, membelai rambut,
..berpusar pelan, dan akhirnya menguar…
…lenyap.
Denting samar titik hujan ini,
Yang akan menjadi melodinya,
Sampai kisah mereka pulang lagi, nanti,
Sebagai nostalgi.
Pattrasani
Manila Bay and the Cruisers – September 29th 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar