Kamis, 20 Maret 2014

Manila Bay: Cloudy Afternoon

 Manila Bay
Cloudy afternoon





Sabtu siang.
Dan tak tahu yang harus dilakukan.
Sedikit ritual akhir ajaran, berfoto bersama Mam Cortez, Sam, dan Peter (Mark and Brennick wasn’t there). Souvenir untuk waktu, foto-foto itu.
Masih mendung dengan satu-dua tetes hujan di sepanjang jalan yang butuh perbaikan ini, Taft Avenue.

Aku hanya butuh makan siang, walaupun tak lapar. Tapi, kopi kalengan dari Thailand pagi tadi yang kuminum meninggalkan sedikit rasa mual. Pengganjal perut yang sederhana dan bercitarasa kubutuhkan sekarang. Pilihan biasa, Mc. D (ato Mac Do sebutan disini), kemudian kuingat yang sama, berbau lokal, Jollibee, persis di seberang jalan.
Keputusan itu persis kubuat di pelataran Mc. D, saat mengucap salam perpisahan dengan Peter (Wang Bo, identitas nasionalnya). Pemuda yang menyenangkan, walaupun bicaranya (bahasa Inggris) terpatah-patah dengan logat cina-nya yang kental. Anak yang baik.
Kami saling mengucapkan kata yang diyakini memberi harapan dan keberuntungan satu sama lain. Dia akan kembali ke Cina, memberiku nomor ponsel-nya dan email disana. Ia tak punya Facebook, Facebook dilarang disana, bukan karena ‘diharamkan’, tapi lebih karena pelarangan pemerintah atas website luar-negara. Hmm, nasionalis ataukah chauvinis? Kupikir, itu salah satu upaya “bela-negara”. Bagus juga.. (saat itu aku baru sadar, Facebook tak selalu berguna untuk bertemu teman lama)

Masih mendung.
Dari Jollibee, terlihat pemandangan khas Metro. Jeepney warna-warni yang ‘keras namun berusaha ceria’, sepasang kekasih bergandengan mesra berjalan riang di trotoar, tiga anak kecil berlari menyeberang jalan, tukang pedicab berseru manis mencari pelanggan.. menawarkan kenyamanan pedicabnya yang sederhana. Diatas deru jalanan, LRT Yellow-Line menderu bersuara serupa besi bergesekan bercampur peluit, dilatarbelakangi gedung-gedung belasan lantai menjulang bangga.
Ah, warna-warni dalam kelabunya udara.

Aku tergerak menjadi ‘walker’ lagi. Jariku menelusuri peta digital, mencari arah laut yang kutahu tak seberapa jauh. Karena melihat laut aku akan merindukan seseorang yang menyukai cakrawala.
Siapa tahu kutemukan lebih dari sekedar laut disana. Mungkin “message in the bottle” dari seseorang dalam melankolika di belahan bumi lain, mungkin sudah menjadi renta. Atau, mungkin juga melihat putri duyung terdampar, siapa tahu? :D
Kuikuti alur O’Campo Street, melintasi R Street, Mabini, dan akhirnya Roxas, dimana ada boulevard disana. Cukup terkejut, karena nuansanya begitu berbeda dengan metro manila yang hanya terpaut kira-kira sepuluh menit berjalan kaki.
Suasana kota modern yang bersih dan lapang menawarkan diri untuk dijajahi. Di seberang jalan berdiri megah Cultural Center of the Philippines (CCP), gedung yang menyajikan ‘misi budaya’ dan pertunjukan. Dengan taman luas dan air mancur yang menyemburkan air beberapa meter keatas membaur dengan angin, gedung itu menjadi point of interest dari Roxas Boulevard.
Air berbaur dengan angin.
Air dan angin. Dua kata itu menarik perhatianku beberapa hari ini.

Kuabadikan beberapa moment dalam kotak kecilku yang pandai bicara ini, termasuk potret seorang perempuan (terlihat) tak waras sedang terbaring di tengah jalan dan meneriaki entah apa. Teriakannya seakan mengekspresikan kebebasan yang dia miliki, sementara orang lain menatapnya dengan berbagai persepsi dan ekspresi rasa, mungkin geli, takut, iba, atau marah seperti seorang petugas berseragam biru yang menudingnya dengan wajah murka dari trotoar tempat aku berdiri.
Sementara aku dan beberapa orang menyeberang jalan, perempuan itu berlari tak karuan sambil menubruki mobil-mobil di jalanan. Ah, kasihan dia.

Pukul 14 lebih 10 menit (waktu Manila) saat aku menemukan laut ini.
Deretan gedung-gedung “pemimpi langit” berdampingan, berdesakan di sepenjang dermaga di kejauhan sana, seakan membuktikan tak ada jarak lagi antara alam dan modernitas, atau mungkin membuktikan mereka merajai alam. Aku tak terlalu peduli, karena suasana ini sudah menjebakku ke alam nostalgi baru.
Empat lelaki melemparkan kail ke laut. Mereka masih terlihat muda dan kuat, membiarkan tubuh mereka terendam air sepanjang pinggang. Kutahu saat itu pastinya air sedang sangat dingin, karena mendung kelabu dan tetesan air hujan terasa satu dua kali menitik diatas kepalaku.
Tongkat pancing melengkung lentur seiring gerak para pemuda itu, bergantian. Entah apa yang mereka pancing. Sepatu bot kukira tangkapan terbesarnya (seperti di komik Donal Bebek).
tiga pemancing
Di trotoar yang juga dermaga berubin merah itu terpancang tiga tiang dengan bendera berkibar ringan. Bendera paling tengah sudah kukenal dengan baik, bendera Filipina. Dua pendampingnya, satu berwarna merah dengan semacam simbol di tengahnya (serupa swastika yang terpecah dan meliuk-liuk), satu lagi berwarna putih dengan tulisan “Harbour Square”. Itu identitas tempat ini. Dimana ada bendera, pasti ada kebanggaan yang ditampilkan seirama kibarnya.

Beberapa camar melintas. Tidak besar. Kecil-kecil saja.
Dua diantaranya terbang santai memutari dua kapal cruiser. Burung yang terbang di belakang tiba-tiba menukik tajam, menyambar sesuatu dari permukaan air. Seekor ikan kecil yang malang, mungkin. Aku hanya berharap itu bukan Marlin atau Dory yang sedang mencari Nemo.

Oceana Maria Scuba, satu cruiser tepat di sudut pandanganku, menarik perhatian. Warnanya biru tua dan putih (warna khas bahari), tidak glamor, tidak formal, tidak ‘tajam’, punya banyak jendela kotak kecil-kecil, dan namanya sangat bersahabat, serupa perempuan muda sederhana nan manis.
gadis manis "Oceana Maria Scuba"








Di sebelahnya berlabuh cruiser-cruiser lancip panjang, besar-kecil, berkesan ‘petualang modern’, bentuknya selaju dengan kecepatan. Tapi, berbeda dengan yang lain, si Maria ini tenang dan kokoh, namun manis.

Aku menyusuri trotoar ubin merah selebar tiga meter di sepanjang dermaga. Tempat ini tenang dan memancing kerinduan, mungkin kerinduan akan kekasih. Atau, bisa juga tempat ini cocok untuk seorang gadis yang sedang patah hati atau ditinggal pergi jauh kekasihnya, gadis yang butuh ketenangan sekaligus teman. Ini mendukung keduanya. Ato justru lelaki? Lelaki Filipina (seperti yang kudengar) rata-rata melankolis.
Sementara, berderet di sepanjang dermaga, kafe-kafe menawarkan tempat keleluasaan untuk kaki yang lelah. Di satu bagian perlintasan ruang terbuka, kursi-kursi biru berjejer rapi menawarkan keramahan. Nuansanya khas open-air space, budaya barat.
Payung-payung pantai warna senada kafe terbuka, menawarkan perlindungan untuk jiwa yang mungkin kesepian. Bukan aku.
Aku tak sedang kesepian, hanya bergayut pada kerinduan yang belum menemukan batasnya, hari-hari ini. Ada sosok yang menyukai lautan di seberang pulau sana. Laut ini mungkin menghubungkanku dengannya. Kuharap.

Kupesan kopi, panas.
Seperti biasanya, kunikmati perlahan, hingga mendingin.
Mencecapnya tanpa suara, hanya suara kertas bergesekan dengan ujung pulpen, temanku berbagi cerita disini.
Ceritanya mungkin akan lebih banyak lagi, jika kopi tak segera habis, atau senja tak lekas pudar.
Semakin banyak orang, semakin banyak kubayangkan kisah-kisah mereka. Kisah yang mereka alami yang membawa mereka sampai ke dermaga ini. Tentunya banyak sekali, dan itu tak akan pernah cukup satu buku menuliskannya.
Seperti anjing kecil yang lucu dengan dua gadis, majikan mudanya itu. Kisah apa yang pernah terjadi pada mereka, mungkin menarik untuk direka-reka. Yang kutemukan dari ekspresi mereka sekarang adalah kebahagiaan, terutama ketika anjing mungil mereka dikerumuni sekelompok pemuda yang membuat mereka berkenalan. Tapi,siapa tahu yang terjadi satu hari atau satu menit sebelumnya?
Angin disini membawa rahasia mereka, bertiup pelan, dan menguar lenyap.
kopi, kertas, dan pena tiga meter dari "si Maria"

Ceritanya mungkin akan lebih banyak lagi,
Jika kopi tak segera habis..
…atau senja tak lekas pudar..
Mungkin semakin banyak orang,
..semakin banyak kisah..
Semakin banyak angin, semakin awan menggulita..
Angin disini membawa serta rahasia mereka,
..terlihat pada riak air, membelai rambut,
..berpusar pelan, dan akhirnya menguar…
…lenyap.
Denting samar titik hujan ini,
Yang akan menjadi melodinya,
Sampai kisah mereka pulang lagi, nanti,
Sebagai nostalgi.



Pattrasani
Manila Bay and the Cruisers – September 29th 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar