Sekali lagi.. fragmen cerpen yang masih bisa berlanjut :)
Kerikil dan
Kerikil
(Pattrasani -
Jogja, 16 Okt dan 6 Nov 2013)
Saat itu
senja belum lagi memuram.
Langit bersih
dari awan, jalanan sedang memulai aktivitas malamnya. Ya, kota ini hidup di
waktu malam. Malam-malam kota ini adalah cengkerama bagi sebagian besar
masyarakatnya, yang tua yang muda, bahkan menulari para pendatang yang sekedar
singgah menjadi lekat untuk mereguk nikmat candu nafas kota, bertahun-tahun tak
berkesudahan.
Kota ini
seperti punya jampi dan mantra untuk membuat manusia melekat pada kesederhanaan
hidup, penyadaran diri dan penyembuhan luka batin.
Mama
termenung di pinggir jalan, diatas sepeda motornya yang berderum datar. Liuk
jalan menggapai kesedihannya, mengundang melambai mengajaknya mengarungi lagi
petualangan jalan aspal. Tapi tidak, Mama hanya sanggup menatap lapangan
berumput tandus didepannya, yang penuh kerikil kecil. Senja dan angin petang
tampaknya tak lagi membuatnya bergairah. Remang lampu jalanan kuning dan
punggung jembatan layang yang selalu membuatnya merindu angin tak mampu
merengkuh hasratnya untuk bercinta dengan kehidupan.
Ia hanya
menatap kerikil-kerikil itu.
Tangannya
terulur.
Satu,
diambilnya satu kerikil abu-abu gelap berdebu. Jemarinya mengusap sedikit debu
yang menempel di batu. Dari matanya, tersirat jelas isi kepalanya bekerja
berputar, namun tanpa koordinasi yang baik. Matanya kemudian hanya sekedar
memandang si kerikil mungil.
Dua, kerikil
kedua dari lapangan telah diambilnya, abu-abu pucat. Tangan mama menyusuri pinggang
jaketnya, ada kantong disitu. Kedua kerikil meluncur masuk kedalamnya.
Tiga, empat,
lima, enam, tujuh, …pada kerikil ketujuh ia berhenti. Sungguh menyakitkan
mengingat angka tujuh yang sangat ia cintai.
Delapan,
Sembilan,..seterusnya ia masukkan kerikil-kerikil itu ke kantongnya..satu
persatu. Memasukkannya satu persatu membuat Mama menangguhkan waktu, membuatnya
punya alas an berdiri berlama-lama di lapangan yang mulai gelap oleh ungu
petang.
Sekarang
waktunya mencari sungai, yang dalam dan tenang, yang berair dingin dan jika
bisa..berwarna hitam.
Suatu waktu,
ia pernah menonton film “The Hours”, kisah tentang tiga waktu, tiga perempuan:
sang penulis, sang pembaca, dan seorang editor - dianggap sang tokoh cerita
dalam buku, Mrs. Dalloway. Ini tentang hubungan kehidupan dan waktu diantaranya,
serta karya sastra yang bisa mempengaruhi. Kisahnya diawali tentang seorang
perempuan-sang penulis bernama Virginia yang berjalan menuju sungai besar. Si
gadis memasukkan batu ke kantong mantel panjangnya, lalu turun perlahan ke
sungai, berusaha menenggelamkan diri. Ia mempertanyakan kematian dan filsofi
tentang kehidupan, juga cinta dan hubungan, terkait dengan hasratnya yang besar
untuk menulis cerita yang sempurna.
Mama pikir,
konyol sekali. Betapa hidup terlalu berharga untuk dikorbankan sebelum
waktunya. Mama seringkali berpikir bahwa persoalan hidup tak ubahnya daun
kering, melayang di jalan berangin, mudah dilangkahi ketika telah terhempas ke
tanah.
Ternyata tak
semua semudah yang dipikirkan, yang dikonsepkan bertahun.
Ia ingin
tenggelam.
Dan film itu
sungguh menginspirasinya, walau konyol. Ia lupa bahwa film seringkali adalah
refleksi kehidupan yang tak sempat tersampaikan dalam realitas.
Tenggelam…ia
ingin tenggelam…
Di benaknya,
akal sehat dan kekalutan bergelut sengit. Ia benci kekonyolan konsep
penenggelaman diri ini, tapi sulit sekali untuk keluar dari cengkeraman
kekalutan yang merangsek ke batas akal sehatnya.
Ia tahu,
tenggelam itu hanya simbol pelepasan tanggungjawabnya terhadap realita. Tak
seorangpun akan memahami rahasia yang ia bekap rapat. Tak ada dan tak perlu
mengajak orang lain bicara tentang ini, karena merasakan adalah otoritasnya.
Orang lain yang menerima ceritanya hanya menangkap pantulannya saja, tidak
benar-benar bisa merasakan. Bukankah semuanya begitu..?
Sungguhpun ia
tak ingin dramatis, ia menyesali satu pagi awal kebersamaan dengan Papa.
Papa.. yang
mencintainya sangat, selalu, dalam kata mesra tak tertolak.
Papa, yang
menciumnya dalam keremangan pagi buta di antara liuk jalan perbukitan dan kilau
cahaya kota, yang mencumbunya di muka laut dan didepan para tukang perahu
sederhana, yang menggenggam tangannya dalam setiap remang malam dimanapun
mereka menemukan petualangan berdua.
Papa, yang
aroma lehernya menyisakan candu kerinduan, yang juga merindunya di kala
berdampingan.
Papa, yang
kepadanya ia berikan kendali atas perasaannya, hari-harinya, gerak tubuhnya.
Papa, yang …
oh papa.. yang hanya kepadanya ia merasakan kebencian sekaligus cinta yang
dalam.
Papa
miliknya, dan juga… ah, betapa sakitnya mengucap yang tak terkatakan.
Papa tak
pernah benar-benar pergi dari Mama, tapi Papa telah kehilangan suara dan
sapanya yang berhasrat. Setidaknya beberapa bulan sebelum ia pergi melintas
lautan yang dicintainya.
#
Menggenggam
kerikil di kantong jaketnya, Mama mengingat malam terakhirnya bersama Papa.
Di satu hotel
klasik yang nyaman di pinggir kota kecil. Malam begitu tenang bersiap menguping
peristiwa selirih apapun dalam kehidupan mereka, terutama Mama.
Mama telah di
kamar, bersama televisi yang menyala, seprai linen putih yang nyaman, secangkir
teh mengepul untuk Papa, dan rindu yang tak jelas bentuknya. Perasaannya sangat
tenang, namun justru ketenangan itu berusaha menipu kegelisahannya. Papa
berjanji datang.
Dua jam
berlalu.
Dan mama baru
saja mengantar kepergian papa di pintu kamar, setelah berpelukan sekedarnya. Pelukan
terakhir mereka. Malam masih menguping,
meskipun kini hanya suara nafas lirih Mama yang terdengar. Mama sudah tak mampu
lagi berkata.
Papa pergi
dari Mama.
Entah hanya
tubuhnya, entah hatinya ikut serta.
##
Saku Mama
melorot keberatan kerikil yang berjejalan didalamnya. Ah, hatinya juga melorot.
Ia sedih mengingat kembali pertemuannya dengan Papa di malam terakhir mereka
itu. Dan ia mulai mempertanyakan hatinya,
yang kini datar. Ia tak ingin kehilangan Papa, namun juga tak mau
mempertahankannya lebih lama dari batas kemampuannya. Ia tahu bahwa ruang untuk
Papa dalam jiwanya telah banyak merenggut ruang-ruang lain yang selama ini
milik hasrat pribadinya bergempita dalam hidup. Ia hanya inginkan keseimbangan
dalam jiwanya.
Mama
melangkah gontai menuju ke sepeda motor yang setia menungguinya di pinggir
jalan. Berat kerikil di sakunya membebani langkahnya. Tak nyaman berjalan
dengan beban.
Ia memutuskan
membuang seluruh kerikilnya, tanpa sisa. Kekonyolan ini harus diselesaikan.
Paling tidak, diganti dengan kekonyolan-kekonyolan lain yang lebih memuaskan
hatinya. Astaga, Mama!
Hari-hari
berikutnya adalah hari pencarian makna cinta dan hidup bagi Mama, menurut
pendapatnya.
Kota ini tak
lagi memberikan kenyamanan baginya. Tak juga keramahan manusianya.
Hari-hari
terkurung bersama dirinya dalam kamar petak sembilan meter persegi. Musik yang
mengalun setiap pagi tak lagi mampu memenuhi jiwanya dengan irama. Belasan film
ia tonton dalam ruang gelap bioskop hanya mampu memberikan ruang
kesendiriannya, saat adegan demi adegan yang mempertontonkan ‘kemanusiawian’
berganti, dengan otorisasi sutradara. Lagi-lagi manusia.
Ia tak mampu
makan, tak mampu tidur, hanya mampu memejamkan mata dan membungkam kata-kata
meluncur melalui bibirnya. Tapi ini bukan meditasi.
Mama pergi ke
perpustakaan universitas tertua di kota ini. Legalah hatinya, ratusan buku yang
terpajang pada rak-rak kayu tua tampak ramah seolah mengerti kebutuhan
batinnya. Mata Mama terpuaskan merasakan tenangnya ruangan buku ini, ia seakan
tertemani, sebenarnya kesunyian jiwanya yang merasa tertemani. Ia duduk,
mengamati sejenak lelaki dan perempuan disekitarnya, semua berwajah serius,
tapi memiliki titik-titik tertentu di sudut pikiran mereka tentang arti
kunjungan ke perpustakaan ini. Hmm, mereka pun individualitas yang menarik
hati.
Ruang baca
itu hanya mampu menemani selama dua hari.
Mama mencari
persemayaman yang lain.
Kafe? Sudah
lama ruang eksklusif itu tak memuaskan seleranya untuk mendapatkan ruang
privasi. Bercangkir-cangkir kopi aneka rasa telah ia cecap dari belasan atau
mungkin puluhan kafe. Yang paling sederhana maupun yang paling eksklusif.
Apakah Mama inginkan citra? Tidak! Ia menginginkan ruang yang mampu menerima
dia sepenuhnya. Entah kafe kota, entah angkringan desa. Menerima
kegelisahannya, disini, dalam pikirannya tentang Papa. Ini bukan lagi persoalan
cinta, tapi ruang jiwanya yang harus dikembalikan, utuh.
Apakah perlu
lagi ke toko buku? Memuaskan dahaga dompetnya untuk buku-buku yang selalu tak
selesai terbaca? Membeli dengan sia-sia lagi? Memandang wajah buku pun tak
menarik minat Mama untuk menyibaknya sampai ke jantung cerita.
Mama
memutuskan pergi dari kota ini.
Apa yang
ingin dia lakukan, apa yang terbersit dengan segera di benaknya, harus segera
dilakukan. Ini cara untuk mengatasi kelemahan dirinya. Segera dan harus segera!
Ia mengingat
kerikil kecil dalam kantong yang dulu telah ia buang. Mengingat bahwa masa
kecilnya ia selalu suka mengumpulkan bebatuan, mengapa tidak ia pergi ke tempat
dimana ia akan menemukan banyak batuan? Atau gundukan-gundukan tanah yang
baginya menghadirkan wajah sang bumi? Oh, Ibu Bumi…mungkinkah engkau yang akan
membasuh jiwa ini..?
Suatu pagi
yang terencana dengan singkat, berdirilah Mama disamping rel kereta lajur 4
stasiun terbesar kota itu. Satu gerbong untuknya menanti, kursi terdepan telah
bersiap diduduki. Kereta ini menuju ke satu kota di Jawa Timur. Disanalah ia
akan menuju.
Ke gunung
dengan panorama paling elok yang pernah ia lihat.
Bagi Mama,
inilah kerikil besar yang semoga bisa mengokohkan tapak kakinya, dan menguatkan
nafasnya.
O Ibu Bumi..
Peluk dan basuh wajah anakmu ini dengan debu
hangatmu!
Topanglah tapak-tapak langkahnya saat ia
mendaki gurat-gurat sang hidup
Undanglah mereka, sang angin malam dan kelam
langit, untuk bersaksi bersama bintang-bintang
Tentang dia.. tentang nafasnya yang terserak
di norma semesta
Ratakanlah, ratakanlah serupa wajah bumimu
yang selalu teduh sayu..
(masih bersambung...)
mencari kerikil sampai di seberang samudra?
BalasHapusYap, mencari kerikil yang lebih banyak lagi ;)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus