Kamis, 20 Maret 2014

cerpen: Kerikil dan Kerikil


Sekali lagi.. fragmen cerpen yang masih bisa berlanjut :)

Kerikil dan Kerikil  
(Pattrasani - Jogja, 16 Okt dan 6 Nov 2013)

Saat itu senja belum lagi memuram.
Langit bersih dari awan, jalanan sedang memulai aktivitas malamnya. Ya, kota ini hidup di waktu malam. Malam-malam kota ini adalah cengkerama bagi sebagian besar masyarakatnya, yang tua yang muda, bahkan menulari para pendatang yang sekedar singgah menjadi lekat untuk mereguk nikmat candu nafas kota, bertahun-tahun tak berkesudahan.
Kota ini seperti punya jampi dan mantra untuk membuat manusia melekat pada kesederhanaan hidup, penyadaran diri dan penyembuhan luka batin.
Mama termenung di pinggir jalan, diatas sepeda motornya yang berderum datar. Liuk jalan menggapai kesedihannya, mengundang melambai mengajaknya mengarungi lagi petualangan jalan aspal. Tapi tidak, Mama hanya sanggup menatap lapangan berumput tandus didepannya, yang penuh kerikil kecil. Senja dan angin petang tampaknya tak lagi membuatnya bergairah. Remang lampu jalanan kuning dan punggung jembatan layang yang selalu membuatnya merindu angin tak mampu merengkuh hasratnya untuk bercinta dengan kehidupan.
Ia hanya menatap kerikil-kerikil itu.
Tangannya terulur.
Satu, diambilnya satu kerikil abu-abu gelap berdebu. Jemarinya mengusap sedikit debu yang menempel di batu. Dari matanya, tersirat jelas isi kepalanya bekerja berputar, namun tanpa koordinasi yang baik. Matanya kemudian hanya sekedar memandang si kerikil mungil.
Dua, kerikil kedua dari lapangan telah diambilnya, abu-abu pucat. Tangan mama menyusuri pinggang jaketnya, ada kantong disitu. Kedua kerikil meluncur masuk kedalamnya.
Tiga, empat, lima, enam, tujuh, …pada kerikil ketujuh ia berhenti. Sungguh menyakitkan mengingat angka tujuh yang sangat ia cintai.
Delapan, Sembilan,..seterusnya ia masukkan kerikil-kerikil itu ke kantongnya..satu persatu. Memasukkannya satu persatu membuat Mama menangguhkan waktu, membuatnya punya alas an berdiri berlama-lama di lapangan yang mulai gelap oleh ungu petang.
Sekarang waktunya mencari sungai, yang dalam dan tenang, yang berair dingin dan jika bisa..berwarna hitam.
Suatu waktu, ia pernah menonton film “The Hours”, kisah tentang tiga waktu, tiga perempuan: sang penulis, sang pembaca, dan seorang editor - dianggap sang tokoh cerita dalam buku, Mrs. Dalloway. Ini tentang hubungan kehidupan dan waktu diantaranya, serta karya sastra yang bisa mempengaruhi. Kisahnya diawali tentang seorang perempuan-sang penulis bernama Virginia yang berjalan menuju sungai besar. Si gadis memasukkan batu ke kantong mantel panjangnya, lalu turun perlahan ke sungai, berusaha menenggelamkan diri. Ia mempertanyakan kematian dan filsofi tentang kehidupan, juga cinta dan hubungan, terkait dengan hasratnya yang besar untuk menulis cerita yang sempurna.
Mama pikir, konyol sekali. Betapa hidup terlalu berharga untuk dikorbankan sebelum waktunya. Mama seringkali berpikir bahwa persoalan hidup tak ubahnya daun kering, melayang di jalan berangin, mudah dilangkahi ketika telah terhempas ke tanah.
Ternyata tak semua semudah yang dipikirkan, yang dikonsepkan bertahun.
Ia ingin tenggelam.
Dan film itu sungguh menginspirasinya, walau konyol. Ia lupa bahwa film seringkali adalah refleksi kehidupan yang tak sempat tersampaikan dalam realitas.
Tenggelam…ia ingin tenggelam…
Di benaknya, akal sehat dan kekalutan bergelut sengit. Ia benci kekonyolan konsep penenggelaman diri ini, tapi sulit sekali untuk keluar dari cengkeraman kekalutan yang merangsek ke batas akal sehatnya.
Ia tahu, tenggelam itu hanya simbol pelepasan tanggungjawabnya terhadap realita. Tak seorangpun akan memahami rahasia yang ia bekap rapat. Tak ada dan tak perlu mengajak orang lain bicara tentang ini, karena merasakan adalah otoritasnya. Orang lain yang menerima ceritanya hanya menangkap pantulannya saja, tidak benar-benar bisa merasakan. Bukankah semuanya begitu..?
Sungguhpun ia tak ingin dramatis, ia menyesali satu pagi awal kebersamaan dengan Papa.
Papa.. yang mencintainya sangat, selalu, dalam kata mesra tak tertolak.
Papa, yang menciumnya dalam keremangan pagi buta di antara liuk jalan perbukitan dan kilau cahaya kota, yang mencumbunya di muka laut dan didepan para tukang perahu sederhana, yang menggenggam tangannya dalam setiap remang malam dimanapun mereka menemukan petualangan berdua.
Papa, yang aroma lehernya menyisakan candu kerinduan, yang juga merindunya di kala berdampingan.
Papa, yang kepadanya ia berikan kendali atas perasaannya, hari-harinya, gerak tubuhnya.
Papa, yang … oh papa.. yang hanya kepadanya ia merasakan kebencian sekaligus cinta yang dalam.
Papa miliknya, dan juga… ah, betapa sakitnya mengucap yang tak terkatakan.
Papa tak pernah benar-benar pergi dari Mama, tapi Papa telah kehilangan suara dan sapanya yang berhasrat. Setidaknya beberapa bulan sebelum ia pergi melintas lautan yang dicintainya.
#
Menggenggam kerikil di kantong jaketnya, Mama mengingat malam terakhirnya bersama Papa.
Di satu hotel klasik yang nyaman di pinggir kota kecil. Malam begitu tenang bersiap menguping peristiwa selirih apapun dalam kehidupan mereka, terutama Mama.
Mama telah di kamar, bersama televisi yang menyala, seprai linen putih yang nyaman, secangkir teh mengepul untuk Papa, dan rindu yang tak jelas bentuknya. Perasaannya sangat tenang, namun justru ketenangan itu berusaha menipu kegelisahannya. Papa berjanji datang.
Dua jam berlalu.
Dan mama baru saja mengantar kepergian papa di pintu kamar, setelah berpelukan sekedarnya. Pelukan terakhir mereka.  Malam masih menguping, meskipun kini hanya suara nafas lirih Mama yang terdengar. Mama sudah tak mampu lagi berkata.
Papa pergi dari Mama.
Entah hanya tubuhnya, entah hatinya ikut serta.
##
Saku Mama melorot keberatan kerikil yang berjejalan didalamnya. Ah, hatinya juga melorot. Ia sedih mengingat kembali pertemuannya dengan Papa di malam terakhir mereka itu.  Dan ia mulai mempertanyakan hatinya, yang kini datar. Ia tak ingin kehilangan Papa, namun juga tak mau mempertahankannya lebih lama dari batas kemampuannya. Ia tahu bahwa ruang untuk Papa dalam jiwanya telah banyak merenggut ruang-ruang lain yang selama ini milik hasrat pribadinya bergempita dalam hidup. Ia hanya inginkan keseimbangan dalam jiwanya.
Mama melangkah gontai menuju ke sepeda motor yang setia menungguinya di pinggir jalan. Berat kerikil di sakunya membebani langkahnya. Tak nyaman berjalan dengan beban.
Ia memutuskan membuang seluruh kerikilnya, tanpa sisa. Kekonyolan ini harus diselesaikan. Paling tidak, diganti dengan kekonyolan-kekonyolan lain yang lebih memuaskan hatinya. Astaga, Mama!
Hari-hari berikutnya adalah hari pencarian makna cinta dan hidup bagi Mama, menurut pendapatnya.
Kota ini tak lagi memberikan kenyamanan baginya. Tak juga keramahan manusianya.
Hari-hari terkurung bersama dirinya dalam kamar petak sembilan meter persegi. Musik yang mengalun setiap pagi tak lagi mampu memenuhi jiwanya dengan irama. Belasan film ia tonton dalam ruang gelap bioskop hanya mampu memberikan ruang kesendiriannya, saat adegan demi adegan yang mempertontonkan ‘kemanusiawian’ berganti, dengan otorisasi sutradara. Lagi-lagi manusia.
Ia tak mampu makan, tak mampu tidur, hanya mampu memejamkan mata dan membungkam kata-kata meluncur melalui bibirnya. Tapi ini bukan meditasi.
Mama pergi ke perpustakaan universitas tertua di kota ini. Legalah hatinya, ratusan buku yang terpajang pada rak-rak kayu tua tampak ramah seolah mengerti kebutuhan batinnya. Mata Mama terpuaskan merasakan tenangnya ruangan buku ini, ia seakan tertemani, sebenarnya kesunyian jiwanya yang merasa tertemani. Ia duduk, mengamati sejenak lelaki dan perempuan disekitarnya, semua berwajah serius, tapi memiliki titik-titik tertentu di sudut pikiran mereka tentang arti kunjungan ke perpustakaan ini. Hmm, mereka pun individualitas yang menarik hati.
Ruang baca itu hanya mampu menemani selama dua hari.
Mama mencari persemayaman yang lain.
Kafe? Sudah lama ruang eksklusif itu tak memuaskan seleranya untuk mendapatkan ruang privasi. Bercangkir-cangkir kopi aneka rasa telah ia cecap dari belasan atau mungkin puluhan kafe. Yang paling sederhana maupun yang paling eksklusif. Apakah Mama inginkan citra? Tidak! Ia menginginkan ruang yang mampu menerima dia sepenuhnya. Entah kafe kota, entah angkringan desa. Menerima kegelisahannya, disini, dalam pikirannya tentang Papa. Ini bukan lagi persoalan cinta, tapi ruang jiwanya yang harus dikembalikan, utuh.
Apakah perlu lagi ke toko buku? Memuaskan dahaga dompetnya untuk buku-buku yang selalu tak selesai terbaca? Membeli dengan sia-sia lagi? Memandang wajah buku pun tak menarik minat Mama untuk menyibaknya sampai ke jantung cerita.
Mama memutuskan pergi dari kota ini.
Apa yang ingin dia lakukan, apa yang terbersit dengan segera di benaknya, harus segera dilakukan. Ini cara untuk mengatasi kelemahan dirinya. Segera dan harus segera!
Ia mengingat kerikil kecil dalam kantong yang dulu telah ia buang. Mengingat bahwa masa kecilnya ia selalu suka mengumpulkan bebatuan, mengapa tidak ia pergi ke tempat dimana ia akan menemukan banyak batuan? Atau gundukan-gundukan tanah yang baginya menghadirkan wajah sang bumi? Oh, Ibu Bumi…mungkinkah engkau yang akan membasuh jiwa ini..?
Suatu pagi yang terencana dengan singkat, berdirilah Mama disamping rel kereta lajur 4 stasiun terbesar kota itu. Satu gerbong untuknya menanti, kursi terdepan telah bersiap diduduki. Kereta ini menuju ke satu kota di Jawa Timur. Disanalah ia akan menuju.
Ke gunung dengan panorama paling elok yang pernah ia lihat.
Bagi Mama, inilah kerikil besar yang semoga bisa mengokohkan tapak kakinya, dan menguatkan nafasnya.

O Ibu Bumi..
Peluk dan basuh wajah anakmu ini dengan debu hangatmu!
Topanglah tapak-tapak langkahnya saat ia mendaki gurat-gurat sang hidup
Undanglah mereka, sang angin malam dan kelam langit, untuk bersaksi bersama bintang-bintang
Tentang dia.. tentang nafasnya yang terserak di norma semesta
Ratakanlah, ratakanlah serupa wajah bumimu yang selalu teduh sayu..

 (masih bersambung...)





3 komentar: